Sebab-Sebab Perpecahan Umat dan Cara Penanggulangannya
﴿ الافتراق: مفهومه، أسبابه ، سبل الوقاية منه ﴾
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Penyusun : Dr. Nashir
bin Abdul Karim Al-'Aql
Terjemah : Abu Ihsan Al-Atsari
Editor : Eko Haryanto Abu
Ziyad
2009 - 1430
﴿
الافتراق: مفهومه، أسبابه ، سبل الوقاية منه ﴾
« باللغة الإندونيسية »
تأليف
: الدكتور ناصر بن عبد الكريم العقل
ترجمة: أبو إحسان الأثري
مراجعة: إيكو هاريانتو أبو زياد
2009 – 1430
MUKADIMAH
Segala puji bagi
Allah Subhanahu wa Ta'ala, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan
serta bertaubat kepada-Nya. Kami berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa-jiwa
kami dan dari keburukan amal-amal kami. Siapa diberi hidayah oleh Allah,
niscaya tiada seorangpun yang dapat menyesatkannya. Siapa disesatkan-Nya,
niscaya tiada seorangpun yang dapat memberinya hidayah. Saya bersaksi bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata yang
tiada sekutu bagi-Nya. Yang berfirman dalam kitab-Nya.
"Artinya
: Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya" [Al-An'am : 153]
Saya
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Yang telah memperingatkan
umat dari musibah yang bakal terjadi, yakni bid'ah dan perpecahan, dalam sabda
beliau.
"Artinya
: Kalian akan mengikuti umat-umat terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sehasta
demi sehasta. Sehingga sekiranya mereka masuk lubang biawak, kalian pasti
mengikutinya" [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]
Wa ba'du
Topik
utama yang harus dianggkat dan dibahas oleh para ahli ilmu dan para penuntut
ilmu sekarang ini dalah masalah "perpecahan umat!" Mafhumnya,
etiologi serta solusinya. Masalah ini sangat perlu diketahui segenap kaum
muslimin, lebih-lebih bagi para penuntut ilmu. Apalagi di zaman sekarang ini
kelompok-kelompok ahli bid'ah mulai mengembangkan sayapnya. Hawa nafsu semakin
menggila hingga menguasai manusia. Sehingga kejahatan dan kemunafikan
merajalela ke segala penjuru.
Benar!
Sekalipun majlis-majlis ilmu menjamur di mana-mana, namun bid'ah-bid'ah juga
semakin berkembang pesat. Memang pada hari ini ilmu banyak disebar, namun
banyak yang tidak mendapat berkah dan faidah dari ilmunya. Barangkali karena ia
menuntut ilmu tidak dari sumber aslinya, yaitu tidak mengacu kepada Al-Qur'an
dan As-Sunnah serta atsar para imam yang dijadikan panutan yang tersebar dalam
karya-karya mereka. Atau barangkali mereka menimbanya bukan dari ahli ilmu, atau
tidak mengikuti manhaj ahli ilmu dan ahli fiqih dalam menuntut ilmu.
Meskipun
sarana menuntut ilmu terbuka luas pada hari ini, namun nikmat tersebut justru
berdampak negatif terhadap banyak orang. Mereka menjadi tergesa-gesa dalam
menimba ilmu tidak sebagaimana mestinya! Di samping mereka merasa cukup tanpa
harus belajar kepada para ulama. Tentu saja itu termasuk ilmu yang tidak
bermanfaat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berlindung diri dari
hal semacam itu.[[1]]
Ilmu yang
mendatangkan berkah hanyalah ilmu yang direngguk dari ulama. Itulah pedoman
utama yang merupakan jalan orang-orang yang beriman. Adapun hanya mencukupkan
menuntut ilmu melalui sarana-sarana (seperti buku dan kaset) belaka, tentu
manfaatnya hanya sedikit. Hal itu juga bisa menjadi katalisator munculnya
bid'ah dan penyimpangan pemikiran serta perpecahan dan perselisihan dalam
agama.
Maka dari
itu, topik kita kali ini seputar perpecahan umat, mafhum, etiologi dan
solusinya. Pembahasan kali ini akan kami rangkum dalam lima pokok permasalahan [akan disalin dalam
beberapa nomor -peny]
[1]
Dalam
sebuah hadits riwayat, Muslim dari Zaid bin Arqam Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berkata dalam do'anya : 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari ilmu yang tidak bermanfaat'. Lihat Shahih Muslim kitab Adz-Dzikr hadits
no. 2723
PERBEDAAN ANTARA IKHTILAF
(PERSELISIHAN) DAN IFTIRAQ (PERPECAHAN)
Membedakan antara perpecahan dan
perselisihan termasuk perkara yang sangat penting. Para
ahli ilmu seyogyanya memperhatikan masalah ini lebih banyak lagi. Karena
mayoritas manusia -terlebih para du'at dan sebagian penuntut ilmu yang belum
matang dalam medalami ilmu agama- tidak dapat membedakan antara permasalahan
khilafiyah dengan perpecahan! Kelirunya, sebagian mereka menerapkan sanksi
hukum akibat perpecahan dalam masalah-masalah ikhtilaf.
Ini
merupakan kekeliruan yang sangat fatal. Penyebabnya tidak lain karena tidak
tahu tentang hakikat perpecahan, kapankah perbedaan itu disebut perpecahan?
Bagaimana terjadinya perpecahan? Siapakah yang berhak memvonis bahwa seseorang
atau kelompok tertentu telah memecah dari jama'ah?
Oleh
sebab itu, sudah sewajarnya mengetahui perbedaan antara perpecahan dan
perselisihan. Ada lima perbedaan yang kami angkat sebagai
contoh.
Pertama : Perpecahan adalah bentuk perselisihan yang sangat
tajam. Bahkan dapat dikatakan sebagai buah dari perselisihan. Banyak sekali
kasus yang membawa perselisihan ke muara perpecahan ! Meski kadang kala
perselisihan tidak mesti berujung kepada perpecahan. Jadi, perpecahan adalah
sesuatu yang lebih dari sekedar perselisihan. Dan sudah barang tentu, tidak
semua ikhtilaf (perselisihan) disebut perpecahan. Maka dapat kita katakan :
Kedua
: Tidak semua ikhtilaf disebut perpecahan ! Namun setiap perpecahan sudah pasti
ikhtilaf! Banyak sekali persoalan yang diperdebatkan kaum muslimin termasuk
kategori ikhtilaf, dimana masing-masing pihak yang berbeda pendapat tidak boleh
memvonis kafir atau mengeluarkan salah satu pihak dari Ahlus Sunnah wal
Jama'ah.
Ketiga : Perpecahan hanya terjadi pada permasalahan prinsipil,
yaitu masalah ushuluddin yang tidak boleh diperselisihkan. Yakni
masalah-masalah ushuluddin yang ditetapkan oleh nash yang qath'i, ijma atau
sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (pedoman operasional) Ahlus Sunnah
wal Jama'ah. Siapa saja yang menyelisihi masalah di atas, maka ia termasuk
orang yang berpecah dari Al-Jama'ah. Adapun selain itu, masih tergolong perkara
ikhtilaf.
Jadi,
ikhtilaf hanya terjadi dalam masalah-masalah yang secara tabiat boleh berbeda
pendapat dan boleh berijtihad yang mana seseorang memiliki hak berpendapat,
atau masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui sebagian orang, atau ada
unsur paksaan dan takwil. Yakni pada masalah-masalah furu' dan ijtihad, bukan
masalah ushuluddin. Bahkan juga sebagian kesalahan dalam persoalan ushuluddin
yang masih bisa ditolerir menurut alim ulama yang terpercaya. Seperti halnya
beberapa persoalan aqidah yang disepakati dasar-dasarnya namun diperselisihkan
rincian furu'nya, misalnya masalah isra' dan mi'raj yang disepakati kebenarannya,
namun diperselisihkan apakah dalam mi'raj tersebut Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam melihat Rabb Ta'ala dengan mata kepala atau mata hati ?
Keempat : Ikhtilaf bersumber dari sebuah iijtihad yang disertai
niat yang lurus. Dalam hal ini, mujtahid yang keliru mendapat satu pahala
karena niatnya yang jujur mencari kebenaran. Sementara mujtahid yang benar
mendapat pahala lebih banyak lagi. Kadang kala pihak yang salah juga pantas
dipuji atas ijtihadnya. Adapun bila ikhtilaf tersebut bermuara kepada perpecahan,
tidak syak lagi hal itu tercela.
Sementara
perpecahan yang tidak berpangkal dari ijtihad atau niat yang tulus. Pelakunya
sama sekali tidak mendapat pahala bahkan mendapat cela dan dosa. Maka dapat
kita katakan bahwa perpecahan itu berpangkal dari bid'ah, menuruti hawa nafsu,
taqlid buta dan kejahilan.
Kelima : Perpecahan tidak terlepas dari ancaman dan siksa serta
kebinasaan. Tidak demikian halnya dengan ikhtilaf walau bagaimanapun bentuk
ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin, baik akibat perbedaan dalam
masalah-masalah ijtihadiyah, atau akibat mengambil pendapat keliru yang masih
bisa ditolerir, atau akibat memilih pendapat yang salah karena ketidaktahuannya
terhadap dalil-dalil sementara belum ditegakkan hujjah atasnya, atau karena
uzur, seperti dipaksa memilih pendapat yang salah sementara orang lain tidak
mengetahuinya, atau akibat kesalahan takwil yang hanya dapat diketahui setelah
ditegakkan hujjah.
MELURUSKAN BEBERAPA KESALAH PAHAMAN
Ada beberapa kekeliruan
sebagian orang sekarang ini yang mesti diluruskan, berkaitan dengan beda antara
perpecahan dengan ikhtilaf. Khususnya bagi para penegak amar ma'ruf nahi
mungkar dan para juru dakwah. Yang lebih banyak lagi disebabkan karena lemahnya
ilmu dan pemahaman dalam agama serta minimnya pengalaman, atau karena
ketidakjelian dan salah persepsi. Terlebih lagi bagi para penopang dakwah
islamiyah pada hari ini.
Beberapa kekeliruan itu di
dantaranya.
Pertama : Mengingkari terjadinya
perpecahan dalam umat ini. yang berakibat sebagian orang menolak hadits
ifftiraq yang telah dinukil secara shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Ini merupakan kesalahan fatal! Beberapa orang berasumsi atau
mendakwahkan bahwa perpecahan umat tidak mungkin terjadi! Selintas kelihatannya
ia ingin menampakkan keinginan yang tulus bagi umat. Melihat umat secara lahir
saja (yaitu semuanya muslimun), Akibatnya ia menolak hadits iftiraq, atau
mentakwilkannya kepada makna lain, atau beranggapan bahwa perpecahan hanya
terjadi pada kelompok-kelompok yang jelas-jelas di luar Islam atau
kelompok-kelompok Islam yang secara jelas telah murtad dari Islam. Ini jelas
keliru, bahkan jelas bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan nash-nash dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan
terjadinya perpecahan umat. [[1]]
Umat memang telah dilanda
perpecahan, realita itulah yang benar-benar telah terjadi. Perpecahan termasuk
bala', sementara kebenaran tidak akan tampak kecuali dengan lawannya
(kesesatan). Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menuliskannya dalam catatan takdir
bahwa pengikut kebenaran sangat sedikit jumlahnya. Oleh sebab itu, meyakini
terjadinya perpecahan bukan berarti berburuk sangka terhadap umat! Bahkan
begitulah realita yang harus diakui. Berita yang dibawa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam harus dibenarkan. Dan fenomena perpecahan itu sendiri bukan
berarti seorang muslim harus menerimanya tanpa usaha menghindar. Apalagi
beranggapan bahwa berpecah itu dibolehkan, rela berpecah, tidak berusaha
mencari kebenaran karena pasrah menerima takdir. Namun sebaliknya, perpecahan
yang pasti terjadi itu justru mendorongnya mencari dan memegang teguh
kebenaran. Memicunya mengenal keburukan untuk dihindari dan dijauhi. Dan
hendaklah ia ketahui bahwa kebenaran hanya terdapat pada manhaj Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam serta manhaj Salafus Shalih.
Kedua : Asumsi bahwa perpecahan
pasti terjadi, berarti umat harus menerimanya dengan rela. Dan para du'at harus
menerima kenyataan ini, menerima kesesatan yang ada tanpa berusaha
memperbaikinya. Asumsi seperti ini sering dijadikan alasan melegitimasi
perpecahan. Mereka beranggapan seorang muslim bebas memilih kelompok manapun!
Beralasan dengan realita perpecahan yang pasti terjadi. Sehingga setiap orang
bebas memilih kelompok manapun yang disukainya, meski jelas-jelas bid'ah dan sesat.
Beranggapan boleh bertoleransi dengan kelompok-kelompok tersebut atau berusaha
menyatukan mereka.
Ini merupakan anggapan
batil, bahkan termasuk memperdayai kaum muslimin. Sudah barang tentu tidak
boleh menjadikan hadits iftiraq tersebut sebagai alasan untuk berpecah belah!
Atau sebagai dalih menerima bid'ah dan menuruti hawa nafsu atau rela berada di
atas kesalahan. Sebab hadits tersebut diucapkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam konteks larangan dan peringatan keras terhadap hal itu.
Lebih parah lagi, sebagian
orang yang mengaku juru dakwah berpendapat, selagi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam membenarkan terjadinya perpecahan umat, maka kita terima dan
kita benarkan saja bid'ah dan kesesatan yang terjadi sebagai suatu realita ! Bukankah
kita tahu bahwa pasti dalam beragama itu ada cemar dan kurangnya! Jelas ini
pendapat yang batil, bahkan termasuk perangkap setan yang menjerat umat
manusia. Sebab, di samping Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menghabarkan terjadinya perpecahan, beliau juga mengabarkan bahwa akan tetap
ada satu kelompok yang teguh diatas kebenaran, yaitu Ath-Thaifah Al-Manshurah.
Golongan yang senantiasa memegang teguh kebenaran, menegakkan amar ma'ruf dan
nahi mungkar. Golongan yang menegakkan hujjah yang nyata. Yang membawa panji
hidayah bagi siapa yang menghendakinya. Yang menjadi panutan bagi yang ingin
kebenaran, kebaikan dan sunnah!.
Jadi, hujjah mesti selalu
tegak, kebenaran pasti senantiasa tampak, tidak akan tersamar sedikitpun bagi
orang-orang yang memiliki bashirah dan bagi para pencari al-haq yang jujur.
Siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar. Selama
kebenaran masih tampak jelas dan panji sunnah masih tetap tegak, siapapun tidak
boleh berpaling darinya, meski dengan itu pengikutnya jadi berkurang, baik ia
seorang da'i atau bukan. Dan ia tidak boleh menerima bid'ah dan kesesatan meski
dengan begitu pengikutnya semakin betambah banyak. Golongan yang selamat
(Al-Firqatun Najiyah) hanya satu dari tujuh puluh tiga kelompok umat ini.
Camkanlah hal itu baik-baik.
Maka menerima bid'ah dan
kesesatan dengan dalih takdir tidaklah dibolehkan! Anggapan seperti itu
termasuk memperdayai kaum muslimin, termasuk pembenaran bagi kebatilan serta
berpaling dari kebenaran, dan termasuk juga selain jalan orang-orang yang
beriman. Semoga Allah memberikan keselamatan bagi kita semua.
Ketiga : Menjadikan ikhtilaf
sebagai alasan memvonis sesat yang berseberangan dengannya, atau menghukumi
mereka keluar dari agama atau dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Serta beberapa
sikap kelewat batas lainnya dalam menghukumi pihak yang berseberangan. Tanpa
merujuk kepada kaidah-kaidah syari'at dan metode alim ulama dalam masalah ini.
Perlu diketahui bahwa dalam memvonis kafir ada batasan dan kaidah yang perlu
diperhatikan. Meskipun terhadap ahli bid'ah dan ahli ahwa' (hawa nafsu). Sebab
vonis kafir, bara'ah (berlepas diri), bughdu (kebencian), hajr (pemboikotan)
dan tahdzir (peringatan) tidak boleh dilakukan tanpa meneliti dan menegakkan
hujjah terlebih dahulu. Maksudnya, tidak boleh terburu-buru memvonis seseorang
keluar dari jama'ah karena bid'ah yang ada padanya atau karena menyalahi
syari'at dan menyelisihi sunah. Sebab barangkali ia tidak tahu hukumnya,
seorang yang jahil tentunya mendapat uzur (dimaklumi) hingga ia mengetahui
ilmunya. Banyak sekali kaum muslimin yang terperangkap lingkungan yang
mengitarinya, hingga jatuh kedalam penyelisihan. Hal itu banyak terjadi di
beberapa negara-negara Islam. Banyak orang yang mencukur jenggotnya,
meninggalkan shalat berjama'ah, melakukan amal-amal yang menyalahi syari'at
bahkan mengucapkan kalimat kufur karena lingkungan memaksanya. Sekiranya tidak
melakukannya mereka bisa dibunuh, disiksa, atau dirusak kehormatannya! Jadi,
bilamana ia lakukan itu semua karena 'terpaksa', maka seorang hakim yang
bijaksana hendaknya dapat menggambarkan hukum apa yang layak diajatuhkannya.
Boleh jadi seorang pelaku bid'ah dan seorang yang meyakini i'tiqad sesat
meyakininya karena takwil (anggapan keliru), sementara hujjah belum ditegakkan
atasnya. Dalam kasus ini, hujjah harus ditegakkan atas mereka! Barangkali
diantara kita pernah melihat seorang melakukan sebuah bid'ah yang pada umumnya
dilakukan oleh pengikut kelompok-kelompok sesat, misalnya bid'ah maulid nabi,
jika ternyata dia seorang awam yang tidak tahu, maka kita tidak boleh
tergesa-gesa memvonis ia orang sesat dan tidak boleh pula menghukuminya keluar
dari jama'ah sebelum dijelaskan duduk perkara tersebut dan ditegakkan hujjah
atasnya. Adapun perbuatannya dapat kita hukumi sebagai bid'ah. Namun jangan
cepat-cepat memvonisnya keluar dari jama'ah atau menghukumi sebagai pengikut
aliran sesat hanya karena bid'ah yang dilakukannya sebelum ditegakkan hujjah.
Kecuali bid'ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya kafir), akan tetapi
risalah kecil ini tidak mungkin memuat perinciannya.
Bahkan sebaliknya,
terburu-buru memvonis orang lain keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam
masalah-masalah furu termasuk bid'ah dan penyimpangan yang tidak boleh
dilakukan. Sikap seperti itu sangat tercela. Bila ia melihat saudaranya jatuh
dalam perbuatan bid'ah, hendaknya mengecek terlebih dahulu, menanyakannya
kepada ahli ilmu, serta menganggap orang yang melakukannya jahil/tidak tahu,
atau melakukannya karena takwil atau ikut-ikutan saja dan butuh nasihat serta
bimbingan. Dan hendaknya ia perlakukan saudaranya itu dengan lemah lembut
terlebih dahulu. Sebab tujuan kita adalah membimbingnya kepada hidayah bukan
memojokkannya.
Keempat : Tidak mengetahui perkara
mana saja yang dibolehkan berbeda pendapat dan mana yang tidak boleh. Yaitu
tidak dapat membedakan perkara-perkara khilafiyah dan perkara-perkara yang
tidak boleh diperselisihkan. Hal ini banyak menimpa orang awam, bahkan juga
para du'at. Kami akan berikan beberapa contoh.
1.
Sebagian orang
menggolongkan beberapa masalah khilafiyah ke dalam masalah ushul (pokok). Tanpa
merujuk kaidah dan arahan ahli ilmu serta tanpa bimbingan dari ahli fiqih yang
dapat membantu mereka dalam hal ini.
2.
Tidak
membedakan antara perkara mukaffirah (yang dapat mengeluarkan pelakunya dari
Islam) dan ghairu mukaffirah (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam).
3.
Tidak
memperhatikan tingkatan-tingkatan bid'ah, di antara bid'ah ada yang dapat mengeluarkan
pelakunya dari Islam dan ada yang tidak. Banyak sekali kesalahan yang dilakukan
seseorang, sebuah kelompok atau jama'ah di vonis kafir secara terburu-buru oleh
sebagian oknum. Sebenarnya tidak demikian caranya. Sebab setiap orang yang
mengetahui perkara-perkara yang dapat menyebabkan kekafiran, seperti meyakini
bahwa Al-Qur'an makhluk, lalu ia menerapkan hukum kafir itu atas setiap orang
yang meyakini demikian tanpa membedakan antara menghukumi ucapan dan menghukumi
orang yang mengucapkannya, maka ia telah menyelisihi kaidah Salafus Shalih
Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah
membedakan antara menghukumi kafir, bid'ah atau fasik terhadap sesuatu secara
umum dengan menghukumi orang tertentu. Boleh jadi kita menghukumi kufur suatu
amalan atau sebuah ucapan, namun bukan berarti setiap orang yang meyakininya,
mengucapkannya atau melakukannya jatuh kafir. Banyak sekali orang yang tidak
membedakan hal ini. Mereka menjatuhkan vonis kafir secara zhahir saja tanpa
memperhatikan kaidah-kaidah takfir (pengkafiran). Padahal vonis kafir tidak
boleh dijatuhkan sehingga benar-benar diteliti, ditegakkan hujjah dan dalil,
serta telah diketahui tidak adanya alasan dan uzdur lainnya yang menghalangi
vonis tersebut terhadap seseorang tertentu. Boleh jadi karena ia jahil, dipaksa
atau mentakwil.
Masalah takfir
(mengkafirkan), seseorang perlu penelitian lebih dalam dan perlu mendatangi
orang yang bersangkutan serta perlu meneliti kondisinya disamping perlu diajak
diskusi dan diberi nasihat. Janganlah kita memvonis kafir setiap orang yang
melakukan perbuatan kufur, mengucapkan dan meyakini keyakinan kufur. Kecuali
dalam masalah-masalah prinsipil yang sudah dikenal luas oleh segenap kaum
muslimin. Seperti mengingkari syahadat Laa ilaaha illallah, mengingkari nubuwah
nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencela Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan masalah-masalah prinsip lainnya.
Perlu diketahui, bahwa ada
juga beberapa permasalahan usuhuluddin yang tersamar perinciannya atas sebagian
orang awam. Seperti masalah sifat Allah, masalah takdir, masalah melihat Allah
pada hari Kiamat, masalah syafa'at, mensikapi sahabat dan beberapa permasalahan
lain yang tidak diketahui orang awam secara rinci. Bahkan juga tersamar
perinciannya atas sebagian ilmu. Kadang kala mereka mengucapkan kalimat kufur
tanpa mereka sadari, tanpa mereka sengaja dan tanpa mereka ketahui serta tanpa
memperhatikan dengan seksama ucapan yang dilontarkan. Apakah harus dihukumi
kafir ? Jawabannya tentu saja tidak!.
Kesalahan besar yang sering
dilakukan oleh beberapa oknum-oknum yang suka menghukumi orang lain adalah
tidak berhati-hati dalam masalah ini sehingga jatuh dalam bahaya. Khususnya
penuntut ilmu yang masih pemula dan masih muda serta belum matang mendalami
ilmu agama melalui para ulama, namun hanya belajar secara otodidak dari
buku-buku dan sarana-sarana lainnya, tanpa dibimbing dan dituntun para ulama,
dan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah dalam pengambilan dalil dan penetapan
hukum. Mereka kerap kali keliru dalam menempatkan kaidah umum dan dalam
menerapkan kaidah itu pada perkara-perkara parsial dan kasus-kasus tertentu.
Hukum kufur dan kafir atas
sebuah perkara dan atas jenis orang tertentu, bukan berarti hukum kafir bagi
setiap orang yang melakukan, mengucapkan dan meyakininya. Demikian pula halnya
hukum-hukum yang berkaitan dengan al-wala' (monoloyalitas) serta al-bara'
(berlepas diri), bukan berarti setiap orang divonis kafir lalu diterapkan
padanya hukum-hukum tersebut.
Sehingga perkaranya menjadi
jelas. Maksud kami adalah hukum-hukum al-bara', sementara al-wala', adalah hak
bagi setiap muslim. Tidak boleh memutus al-wala', sebab al-wala' wajib
diberikan kepada setiap orang yang menunjukkan identitas dirinya sebagai muslim
sehingga kita mendapatinya menyelisihi identitas tersebut.
Di antara kesalahan mereka
juga adalah : Tidak memperhatikan maslahat dan mafsadat serta tidak mengetahui
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan maslahat dan mafsadat. Hal ini juga
merupakan salah satu pemicu utamanya.
[1] Akan kami
sebutkan nash-nash qath'i yang menunjukkan terjadinya perpecahan umat pada
pasal-pasal mendatang
REALITA PERPECAHAN UMAT
Apakah perpecahan
benar-benar melanda umat Islam ? Benarkah hal itu terjadi ?. Persoalan ini
terangkum dalam sembilan point.
Pertama.
Hadits mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai perpecahan yang melanda umat. Di antaranya adalah hadits iftiraq yang berbunyi.
Hadits mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai perpecahan yang melanda umat. Di antaranya adalah hadits iftiraq yang berbunyi.
"Artinya : Umat Yahudi
telah terpecah-belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Dan umat Nasrani telah
terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sementara umat ini (Islam)
akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan"
Hadits Nabi ini sangat
masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat dan dicantumkan oleh para imam dan
huffazh dalam kitab-kitab sunan, seperti Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi,
Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya'la Al-Maushili, Ibnu Abi Ashim, Ibnu
Baththah, Al-Ajurri, Ad-Darimi, Al-Lalikai dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan
shahih oleh beberapa ahli ilmu di antaranya ; At-Tirmidzi, Al-Hakim,
Adz-Dzahabi, As-Suyuthi, Asy-Syathibi dan lainnya. Di samping banyak terdapat
jalur sanad bagi hadits ini, secara keseluruhan dapat mencapai derajat hadits
shahih.
Kedua.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa umat ini bakal mengikuti tradisi umat-umat terdahulu. Hadits tersebut berbunyi.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa umat ini bakal mengikuti tradisi umat-umat terdahulu. Hadits tersebut berbunyi.
"Artinya : Kalian
pasti akan mengikuti tradisi umat-umat terdahulu, sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta. Hingga sekalipun mereka masuk lubang biawak, kalian pasti
mengikutinya. "Kami bertanya : 'Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum
Yahudi dan Nashrani ? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab :
'Siapa lagi kalau bukan mereka!" [Hadits Riwayat Al-Bukhari, silakan baca
Fathul Bari, 8/300 dan Muslim hadits no. 2669] Hadits ini shahih muttafaqun
alaihi, tercantum dalam kitab-kitab shahih dan sunan
Dalam beberapa matan dan
lafalnya secara eksplisit hadist ini menjelaskan makna "menyerupai dan
mengikuti" yang dimaksud. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
"Artinya : Ibarat
bulu-bulu anak panah yang sama persis"
Dan beberapa lafal lainnya
yang sama menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memperingatkan bahaya perpecahan yang bakal melanda umat ini. Bahwa hal itu
pasti menimpa umat ini. Dan perpecahan yang bakal terjadi itu bukanlah cela dan
cacat atas Islam, atas Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan atas Ahlul Haq, namun
merupakan kecaman terhadap orang-orang yang memisahkan diri dari jama'ah.
Orang-orang yang memisahkan diri dari jama'ah tentunya bukan termasuk Ahlus
Sunnah wal Jama'ah. Sebab Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang
memegang teguh Al-Qur'an dan Sunnah, yang tetap berada di atas nilai-nilai
ke-Islaman. Merekalah para penegak kebenaran yang dibangkitkan Allah kepada
manusia hingga hari Kiamat.
Jadi, perpecahan pasti terjadi berdasarkan berita yang sangat akurat, meskipun relitas dan logika belum mampu membuktikan kebenarannya!. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikannya melalui hadits-hadits beliau yang shahih dengan beragam lafal. Peringatan terhadap bahayanya juga telah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan. Peringatan yang disampaikan berkali-kali itu merupakan sinyalemen bahwa perpecahan pasti terjadi tanpa bisa dihindari!.
Jadi, perpecahan pasti terjadi berdasarkan berita yang sangat akurat, meskipun relitas dan logika belum mampu membuktikan kebenarannya!. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikannya melalui hadits-hadits beliau yang shahih dengan beragam lafal. Peringatan terhadap bahayanya juga telah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan. Peringatan yang disampaikan berkali-kali itu merupakan sinyalemen bahwa perpecahan pasti terjadi tanpa bisa dihindari!.
Ketiga.
Adanya nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mencakup larangan mengikuti jalan-jalan hawa nafsu dan perpecahan!
Adanya nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mencakup larangan mengikuti jalan-jalan hawa nafsu dan perpecahan!
Di
antaranya adalah.
1. Firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ
جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
"Artinya : Dan berpegang teguhlah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai" [Ali Imran :
103]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ
وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan,
yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan" [Al-Anfal : 46]
3. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ
تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ
"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang
yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka" [Ali Imran : 105]
4. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا
تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
"Artinya : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya" [Asy-Syura : 13]
5. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً
فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ
"Artinya : Dan bahwa
(yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia ; dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya" [Al-An'am : 153]
Secara gamblang Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan ayat di atas, beliau menarik
sebuah garis lurus yang panjang kemudian menarik garis-garis ke kanan dan ke
kiri menyimpang dari garis lurus tadi. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjelaskan bahwa garis lurus tersebut adalah jalan Allah, sementara
garis-garis ke kanan dan ke kiri adalah jalan buntu yang menyimpang dari jalan
yang utama yang lurus tadi [[1]]. Beliau juga
menjelaskan bahwa pada jalan-jalan kesesatan tadi terdapat juru-juru dakwah
yang menyeru kepada jalan setan.
Siapa mengikuti mereka,
niscaya akan dilemparkan ke dalam jurang kehancuran [[2]]
Keempat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah melarang kita berbantah-bantahan dalam firmanNya.
"Artinya : Dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatan" [Al-Anfal : 46]
Sementara
berbantah-bantahan itulah yang terjadi di antara kelompok-kelompok itu hingga
berpecah-belah menjadi bergolong-golongan.
Kelima.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam siapa saja yang menyimpang dari jalan orang-orang yang beriman (sahabat) dalam firmanNya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam siapa saja yang menyimpang dari jalan orang-orang yang beriman (sahabat) dalam firmanNya.
"Artinya : Dang siapa
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali" [An-Nisaa : 115]
Ternyata apa yang
disebutkan dalam ayat diatas benar-benar dilakukan oleh segerombolan orang yang
menentang Allah dan RasulNya serta mengikuti selain jalan orang-orang yang
beriman. Mereka itulah kaum munafikin, kaum penentang dan kaum sempalan. Hanya
kepada Allah saja kita memohon keselamatan. Jalan orang-orang yang beriman
itulah jalan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Keenam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan beberapa sanksi atas orang yang memisahkan diri dari jama'ah, juga menjadi salah satu dalil bahwa hal itu pasti terjadi! Dengan keras beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam siapa saja yang memisahkan diri dari jama'ah, berikut sabda beliau.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan beberapa sanksi atas orang yang memisahkan diri dari jama'ah, juga menjadi salah satu dalil bahwa hal itu pasti terjadi! Dengan keras beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam siapa saja yang memisahkan diri dari jama'ah, berikut sabda beliau.
"Artinya : Tidak halal
darah seorang muslim yang bersaksi tiada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar selain Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusa Allah kecuali dengan
tiga alasan :
(1) berzina setelah
menikah. (2) Membunuh jiwa tanpa hak (qishash). (3) Murtad dari Islam yang
memisahkan diri dari jama'ah" [Muttafaqun 'alaih, Al-Bukhari IV/317 dan
Muslim V/106]
Ketujuh.
Secara implisit Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan sinyalemen terjadinya perpecahan ketika beliau menyinggung tentang kelompok Khawarij. Beliau menyebutkan bahwa kelompok Khawarij ini akan memisahkan diri dari umat, akibatnya mereka melesat keluar dari agama. Istilah 'keluar dari agama' bukan berarti kafir keluar dari Islam, akan tetapi maknanya adalah keluar dari asas Islam, keluar dari hukum-hukum dan batas-batasnya. Istilah 'keluar dari agama' kadang kala berarti kekafiran kadang kala tidak sampai kepada batas kafir. Kadang kala bermakna memisahkan diri dari umat Islam, yaitu dari jama'ah, atau memisahkan diri dari jalur Sunnah Nabi yang dilalui oleh Ahlus Sunnah, yang merupakan Ahlu Islam sejati.
Secara implisit Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan sinyalemen terjadinya perpecahan ketika beliau menyinggung tentang kelompok Khawarij. Beliau menyebutkan bahwa kelompok Khawarij ini akan memisahkan diri dari umat, akibatnya mereka melesat keluar dari agama. Istilah 'keluar dari agama' bukan berarti kafir keluar dari Islam, akan tetapi maknanya adalah keluar dari asas Islam, keluar dari hukum-hukum dan batas-batasnya. Istilah 'keluar dari agama' kadang kala berarti kekafiran kadang kala tidak sampai kepada batas kafir. Kadang kala bermakna memisahkan diri dari umat Islam, yaitu dari jama'ah, atau memisahkan diri dari jalur Sunnah Nabi yang dilalui oleh Ahlus Sunnah, yang merupakan Ahlu Islam sejati.
Kedelapan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memerangi siapa saja yang memisahkan diri dari jama'ah, sebagaimana yang disinggung dalam hadits di atas tadi. Sanksi tersebut merupakan sebuah ketetapan bagi sesuatu yang pasti terjadi. Sebab sangat mustahil ketetapan Nabi itu ngawur dan hanya kira-kira belakan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memerangi siapa saja yang memisahkan diri dari jama'ah, sebagaimana yang disinggung dalam hadits di atas tadi. Sanksi tersebut merupakan sebuah ketetapan bagi sesuatu yang pasti terjadi. Sebab sangat mustahil ketetapan Nabi itu ngawur dan hanya kira-kira belakan.
Kesembilan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan memisahkan diri dari jama'ah, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah[[3]]. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan bahwa perpecahan itu adalah azab, menyempal itu adalah kehancuran dan beberapa perkara lainnya yang menunjukkan bahwa perpecahan pasti terjadi. Peringatan terhadap bahaya perpecahan bukanlah gurauan belaka ! Pasti melanda umat sebagai bala'. Perpecahan tidak akan terjadi bila kaum muslimin berada di atas keterangan ilmu, mengenal kebenaran, mengenal Al-Qur'an dan As-Sunnah serta berpedoman Salafus Shalih, mencari kebenaran tersebut hingga dapat membedakan antara haq dan batil. Siapa saja yang mendapat hidayah, maka ia mendapatkannya dengan petunjuk ilmu. Dan siapa saja yang sesat, maka ia sesat berdasarkan keterangan yang nyata. Hanya kepada Allah saja kita memohon keselamatan dari kesesatan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan memisahkan diri dari jama'ah, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah[[3]]. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan bahwa perpecahan itu adalah azab, menyempal itu adalah kehancuran dan beberapa perkara lainnya yang menunjukkan bahwa perpecahan pasti terjadi. Peringatan terhadap bahaya perpecahan bukanlah gurauan belaka ! Pasti melanda umat sebagai bala'. Perpecahan tidak akan terjadi bila kaum muslimin berada di atas keterangan ilmu, mengenal kebenaran, mengenal Al-Qur'an dan As-Sunnah serta berpedoman Salafus Shalih, mencari kebenaran tersebut hingga dapat membedakan antara haq dan batil. Siapa saja yang mendapat hidayah, maka ia mendapatkannya dengan petunjuk ilmu. Dan siapa saja yang sesat, maka ia sesat berdasarkan keterangan yang nyata. Hanya kepada Allah saja kita memohon keselamatan dari kesesatan.
Kesimpulannya.
Berdasarkan dalil-dalil qathi di atas, perpecahan pasti melanda umat ini. Perpecahan adalah bala' dan adzab yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan dan tidak akan berubah! Perpecahan dengan beragam bentuknya adalah tercela. Setiap muslim harus mengetahui bentuk-bentuk perpecahan dan para pelakunya sehingga ia dapat menghindar dari jurang kesesatan!
Berdasarkan dalil-dalil qathi di atas, perpecahan pasti melanda umat ini. Perpecahan adalah bala' dan adzab yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan dan tidak akan berubah! Perpecahan dengan beragam bentuknya adalah tercela. Setiap muslim harus mengetahui bentuk-bentuk perpecahan dan para pelakunya sehingga ia dapat menghindar dari jurang kesesatan!
[1] Hari ini
disebutkan dalam sejumlah hadits, sebagian dari jalaur sanad itu dinyatakan
shalih oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani. Silakan
lihat kitab As-Sunnah karangan Ibnu Abi Ashim 1/13-14
SEJARAH HITAM PERPECAHAN UMAT
Banyak
sekali faidah yang dapat dipetik dari pembicaraan seputar sejarah perpecahan
umat. Berbagai peristiwa yang terjadi di awal Islam tersebut sarat dengan ibrah
(pelajaran). Tentunya kami tidak mampu menyuguhkan sejarah perpecahan itu
secara terperinci, akan tetapi ada beberapa point yang dapat kita jadikan
pelajaran. Sembari meluruskan beberapa persepsi keliru sebagian orang sekitar
masalah tersebut dewasa ini.
Pertama.
Sumbu perpecahan yang pertama kali muncul hanyalah berupa i'tiqad dan pemikiran yang tidak begitu didengar dan diperhatikan. Yang pertama kali di dengar oleh kaum muslimin dan para sahabat adalah aqidah Saba'iyah yang merupakan cikal bakal aqidah Syi'ah dan Khawarij. Itulah benih awal perpecahan yang ditaburkan di tengah-tengah kaum muslimin. Aqidah ini disebarkan oleh penganutnya secara terselubung nyaris tanpa suara. Orang pertama yang memunculkan juga asing, nama dan identitasnya tidak jelas. Orang menyebutnya Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba'. Ia mengacaukan barisan kaum muslimin dengan aqidah sesat itu. Sehingga aqidah tersebut diyakini kebenarannya oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum yang merancang makar jahat terhadap Islam, orang-orang jahil dan pemuda-pemuda ingusan. Begitu pula sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama dan kerajaan mereka telah ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam dari kalangan bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka membenarkan hasutan-hasutan Ibnu Saba', membuat makar tersembunyi atas kaum muslimin, hingga muncullah cikal bakal Syi'ah dan Khawarij dari mereka. Hal ini ditinjau dari sudut pandang aqidah dan keyakinan sesat yang pertama kali muncul yang menyelisihi asas Islam dan Sunnah.
Sumbu perpecahan yang pertama kali muncul hanyalah berupa i'tiqad dan pemikiran yang tidak begitu didengar dan diperhatikan. Yang pertama kali di dengar oleh kaum muslimin dan para sahabat adalah aqidah Saba'iyah yang merupakan cikal bakal aqidah Syi'ah dan Khawarij. Itulah benih awal perpecahan yang ditaburkan di tengah-tengah kaum muslimin. Aqidah ini disebarkan oleh penganutnya secara terselubung nyaris tanpa suara. Orang pertama yang memunculkan juga asing, nama dan identitasnya tidak jelas. Orang menyebutnya Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba'. Ia mengacaukan barisan kaum muslimin dengan aqidah sesat itu. Sehingga aqidah tersebut diyakini kebenarannya oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum yang merancang makar jahat terhadap Islam, orang-orang jahil dan pemuda-pemuda ingusan. Begitu pula sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama dan kerajaan mereka telah ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam dari kalangan bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka membenarkan hasutan-hasutan Ibnu Saba', membuat makar tersembunyi atas kaum muslimin, hingga muncullah cikal bakal Syi'ah dan Khawarij dari mereka. Hal ini ditinjau dari sudut pandang aqidah dan keyakinan sesat yang pertama kali muncul yang menyelisihi asas Islam dan Sunnah.
Adapun kelompok sempalan
yang pertama kali muncul yang memisahkan diri dari imam kaum muslimin adalah
kelompok Khawarij. Benih-benih Khawarij ini sebenarnya berasal dari aqidah
Saba'iyah. Banyak orang yang mengira keduanya berbeda, padahal sebenarnya cikal
bakal Khawarij berasal dari pemikiran kotor Saba'iyah. Perlu diketahui bahwa
Saba'iyah ini terpecah menjadi dua kelompok utama : Khawarij dan Syi'ah.
Kendati antara keduanya
terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok, namun dasar-dasar pemikirannya
setali tiga uang. Baik Khawarij maupun Syi'ah muncul pada peristiwa fitnah atas
diri Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu. Fitnah diprakarsai
oleh Abdullah bin Saba' lewat ide, keyakinan
dan gerakannya. Dari situlah muncrat aqidah sesat, yaitu aqidah Syi'ah dan
Khawarij.
Perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya supaya dapat memecah belah umat. Ibnu Saba' dan konco-konconya menabur beragam benih untuk menyuburkan kelompok-kelompok pengikut hawa nafsu itu. Kemudian membuat trik seolah-olah antara kelompok-kelompok itu terjadi permusuhan guna memecah belah umat sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Itulah yang diterapkan oleh musuh-musuh Islam untuk mengadu domba kaum muslimin, yakni dengan istilah yang mereka namakan blok kanan dan blok kiri. Mereka mengkotak-kotakan kaum muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap kanan dan partai sayap kiri. Begitu berhasil melaksanakan program, mereka munculkan babak permainan baru dengan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, primitif, ekstrimisme, radikalisme dan lain-lain. Semuanya adalah permainan yang sama, dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya juga itu-itu juga demikian pula tujuannya, hanya saja corak ragamnya berbeda-beda. Jadi secara keseluruhan ini mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati satu sama lain saling bermusuhan.
Perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya supaya dapat memecah belah umat. Ibnu Saba' dan konco-konconya menabur beragam benih untuk menyuburkan kelompok-kelompok pengikut hawa nafsu itu. Kemudian membuat trik seolah-olah antara kelompok-kelompok itu terjadi permusuhan guna memecah belah umat sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Itulah yang diterapkan oleh musuh-musuh Islam untuk mengadu domba kaum muslimin, yakni dengan istilah yang mereka namakan blok kanan dan blok kiri. Mereka mengkotak-kotakan kaum muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap kanan dan partai sayap kiri. Begitu berhasil melaksanakan program, mereka munculkan babak permainan baru dengan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, primitif, ekstrimisme, radikalisme dan lain-lain. Semuanya adalah permainan yang sama, dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya juga itu-itu juga demikian pula tujuannya, hanya saja corak ragamnya berbeda-beda. Jadi secara keseluruhan ini mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati satu sama lain saling bermusuhan.
Kedua.
Ada satu point penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak kita temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain. Yang terjadi diantara mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma' (kesepakatan), atau salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama'ah serta tetap komitment terhadap imam. Itulah yang terjadi dikalangan sahabat.
Ada satu point penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak kita temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain. Yang terjadi diantara mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma' (kesepakatan), atau salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama'ah serta tetap komitment terhadap imam. Itulah yang terjadi dikalangan sahabat.
Tidak ada seorang
sahabat-pun yang memisahkan diri dari jama'ah. Tidak ada satupun diantara
mereka yang melontarkan ucapan bid'ah atau mengada-ada perkara baru dalam
agama. Sungguh, para sahabat merupakan imam dalam agama yang mesti diteladani
oleh kaum muslimin. Tidak satupun dari kalangan sahabat yang memecah dari
jama'ah. Dan tak satupun ucapan mereka yang menjadi sumber bid'ah dan sumber
perpecahan. Adapun beberapa ucapan dan kelompok sempalan yang dinisbatkan oleh
sejumlah oknum kepada para sahabat adalah tidak benar! Hanyalah dusta dan
kebohongan besar yang mereka tujukan terhadap para sahabat. Sangat keliru bila
Ali bin Abi Thalib disebut sebagai sumber Syi'ah, Abu Dzar Al-Ghifari sebagai
sumber sosialisme, para sahabat Ahlus Suffah sebagai cikal bakal kaum sufi,
Mua'wiyah diklaim sebagai sumber Jabariyah, Abu Darda' dituduh sebagai sumber
Qadariyah, atau sahabat lain menjadi sumber pemikiran sesat ini dan itu,
mengada-adakan bid'ah dan perkara baru, atau punya pendirian yang menyempal!
Jelas itu semua merupakan kebatilan murni! [[1]]
Iftiraq (perpecahan) itu sendiri
mulai terjadi setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu terbunuh. Pada masa
kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus
fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib,
barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah. Sementara pada masa kekhalifahan
Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dan Umar Radhiyallahu 'anhu, bahkan pada masa
kekhalifahan Utsman Radhiyallahu 'anhu, belum terjadi sama sekali perpecahan
yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat justru melakukan penentangan
terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira para sahabat mengabaikan atau
tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan pula disangka mereka
kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah pemikiran,
keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang
perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang
menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan. Akan tetapi
ketentuan Allah pasti terjadi!
[1] Termasuk
di antara kebatilan tersebut ialah klaim sebagian kaum sufi bahwa asal-usul
bid'ah mereka adalah para shabat Ahlu Suffah Radhiyallahu anhu ajma'in.
Sekali-kali tidak demikian ! Bahkan sebaliknya, kita katakan kepada mereka,
"Teladanilah sunnah sahabat Ahlus Suffah tersebut jika kalian orang-orang
yang benar!".
TOKOH-TOKOH AHLI BID'AH
Setelah
berbicara tentang sejarah perpecahan umat, ada baiknya kita lanjutkan
pembicaraan tentang asal usul bid'ah. Guna mengetahui tokoh-tokoh pencetus
kelompok-kelompok sesat yang merupakan biang perpecahan. Yaitu oknum-oknum yang
mengusung bid'ah tersebut hingga menjadi pemimpin-pemimpin sesat sampai hari
Kiamat. Hingga sepeninggal mereka, terbuka lebarlah pintu perpecahan, semakin
bertambahlah orang-orang yang menyesatkan. Di antara oknum-oknum tersebut
ialah.
- Pelopor perpecahan : Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba' Al-Yahudi, seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam. berikut pengikut dan konco-konconya. Ide kotornya pertama kali muncul sekitar tahun 34H. Ibnu Sauda' ini memadukan antara bid'ah Khawarij dan Syi'ah.
- Setelah itu Ma'bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80H) meluncurkan pemikiran bid'ah seputar masalah takdir sekitar tahun 64H. Ia menggugat ilmu Allah dan takdir-Nya. Ia mempromosikan pemikiran sesat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan ekses. Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid'ahnya ini mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma.
- Kemudian muncullah Ghailan Ad-Dimasyqi yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98H. Dan juga dalam masalah ta'wil, ta'thil (mengingkari sebagian siaft-sifat Allah) dan masalah irja[[1]] Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat dominan bagi ahli bid'ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid'ah. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada bid'ahnya. Ghailan ini akhirnya dibunuh setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun 105H.
- Setelah itu muncullah Al-Ja'd bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H). Ia mengembangkan pendapat-pendapat sesat itu. Dan meracik antara bid'ah Qadariyah dengan bid'ah Mu'aththilah[[2]] dan ahli ta'wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah pendapat-pendapat Al-Ja'd ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras. Maka semakin banyak kaum muslimin yang terkena racun pemikirannya, para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja'd ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai menunaikan shalat 'Idul Adha :
"Sembelihlah
hewan kurban kalian, semoga Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku
akan menyembelih Al-Ja'd bin Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah
Subhanahu wa Ta'ala tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya dan Allah tidak
mengajak Nabi Musa berbicara ...... dan seterusnya". Kemudian beliau turun
dari mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124H.
- Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid'ah dan kesesatan generasi pendahulunya serta menambah bid'ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid'ah Jahmiyah serta kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja'd, bahkan ia menambah lagi dengan bid'ah ta'thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid'ah ta'wil, bid'ah irja', bid'ah Jabariyah[[3]], bid'ah Kalam[[4]], tidak meyakini Allah bersemayam di atas Arsy, menolak sifat Al-'Uluw (yang maha tinggi) bagi Allah, menolak ru'yah[[5]]. Al-Jahm dihukum mati pada tahun 128H
- Dalam waktu yang
bersamaan, munculah pula Washil bin Atha' dan Amr bin Ubeid.
Mereka berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu'tazilah Qadariyah.
Setelah itu terbukalah pintu perpecahan. Kelompok Rafidhah mulai berani menyatakan terang-terangan aqidah dan keyakinannya. Kemudian sekte Syi'ah ini terpecah belah menjadi beberapa golongan. Lalu muncullah kaum Musyabbihah[[6]] dari kalangan Syi'ah melalui tokoh-tokohnya seperti Daud Al-Jawaribi, Hisyam bin Al-Hakam, Hisyam bin Al-Jawaliqi dan lain-lain. Mereka itulah peletak dasar ajaran Musyabbihah dan pelopornya. Mereka juga termasuk pengikut ajaran Syi'ah. Kemudian muncullah Al-Mutakallimun (Ahli Kalam) seperti Al-Kullabiyah[[7]], Al-Asy'ariyah[[8]] dan Al-Maturidiyah. Lalu muncul pula aliran-aliran sufi dan ahli-ahli filsafat. dengan demikian, pintu perpecahan terbuka luas bagi setiap orang sesat, ahli bid'ah dan pengiku hawa nafsu. Sehingga tertancaplah dasar-dasar perpecahan di antara kaum muslimin sekarang ini. Sampai hari ini, ekses-ekses perpecahan masih terlihat di antara kaum muslimin. Bahkan terus bertambah dengan muculnya bid'ah-bid'ah dan penyimpangan-penyimpangan baru di samping perpecahan yang sudah ada, sejalan dengan hawa nafsu manusia yang sudah begitu akrab dengan bid'ah kesesatan.
Sebagian orang mengira bahwa kelompok-kelompok bid'ah ini sudah sirna dan sudah menjadi koleksi sejarah masa lalu. Entah karena kejahilan mereka atau karena pura-pura tidak tahu! Asumsi seperti itu jelas keliru. Setiap golongan sesat yang besar dan berbahaya di masa lalu masih tetap ada sampai sekarang di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan semakin banyak, semakin berbahaya dan semakin menyimpang. Rafidhah dengan sekte-sektenya yang batil serta golongan Syi'ah lainnya, Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah, Jahmiyah, Ahli Kalam, Kaum Sufi dan Ahli Filsafat, masih berusaha menyesatkan umat. Bahkan mereka mulai berani menampakkan taring, mempromosikan aqidah mereka dengan cara yang lebih keji dari pada sebelumnya. Karena pada hari ini mereka mengklaim ajaran mereka sebagai ilmu pengetahun, wawasan dan pemikiran. Disamping minimnya pemaham kaum muslimin tentang agama mereka dan kejahilan mereka tentang aqidah yang benar. Cukuplah Allah sebagai pelindung kita, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.
[1] Pemikiran
bahwa Iman itu statis, tidak bertambah dan tidak berkurang
[2]
Orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah
[3] Radikal
dalam penetapan takdir hingga meyakini bahwa manusia tidak ikhtiar dalam amal
perbuatannya
[7] Pengikut Ibnu Kullab. Inti aqidah mereka
ialah hanya menetapkan beberapa sifat Allah saja yang menurut mereka dapat
diterima falsafah akal mereka.
[8] Pengikut Abul Hasan Al-Asy'ari yang inti
aqidah mereka sama dengan Al-Kullabiyah dengan sedikit perbedaan-perbedaan
SEBAB-SEBAB
PERPECAHAN
Seandainya kita berusaha menelusuri
sebab-sebab perpecahan sejak awal mula perpecahan itu terjadi sampai pada hari
ini niscaya kita dapati banyak sekali faktor-faktor yang memicu terjadinya
perpecahan. Bahkan hampir-hampir tidak terhitung banyaknya. Setiap mecuatnya
sebuah pemikiran, tradisi dan bid'ah baru, pasti menimbulkan sebuah perpecahan
baru pula. Namun dalam hal ini, ada beberapa faktor dominan yang juga merupakan
sumber utama penyebab terjadinya perpecahan dari dulu hingga sekarang. Kami
akan meringkasnya sebagai berikut.
1.
Perpecahan
Adalah Bentuk Perselisihan Yang Lebih Tajam
Faktor
terpenting yang memicu terjadinya perpecahan dan yang terdahsyat efeknya
terhadap umat adalah konspirasi dan makar yang dilancarkan oleh berbagai kaum
pemeluk agama, seperti kaum Yahudi, Nashrani, Shabi'un (penyembah binatang dan
dewa-dewa), Majusi dan Dahriyun (atheis).
Demikian
pula barisan sakit hati yang masih menyimpan dendam terhadap Islam dan kaum
muslimin. Karena jihad Islam telah menyudahi kekuasaan mereka dan menghapus
kejayaan mereka dari muka bumi. Seperti kerajaan Persia dan Romawi. Di antara mereka
masih tersisa segelintir oknum yang bertahan di atas kekafirannya serta masih
menyimpan dendam kesumat terhadap Islam dan kaum muslimin. Mereka lebih memilih
jalan kemunafikan dan zindiq, yaitu menampakkan ke-Islaman secara lahiriyah
saja. Atau lebih memilih tetap memeluk agama mereka yang lama dengan membayar
jizyah (upeti) sebagai jaminan keselamatan dan keamanan supaya dapat hidup
berdampingan dengan kaum muslimin. Merekalah faktor paling dominan yang
menciptakan perpecahan dengan menebar tipu daya melalui pemikiran,
prinsip-prinsip, bid'ah-bid'ah dan hawa nafsu di tengah-tengah kaum muslimin.
2.
Tidak
Semua Perselisihan Merupakan Perpecahan
Pentolan-pentolan
ahli ahwa (pengikut hawa nafsu) yang berusaha mengeruk keuntungan pribadi atau
kelompok di balik awan hitam perpecahan. berikut para pengikutnya yang
senantiasa menebar huru hara. Banyak kita dapati di antara pengikut-pengikut
golongan sesat yang berusaha meraih keuntungan pribadi dibalik perpecahan tersebut
demi memuaskan syahwat dan hawa nafsu atau demi kepentingan golongan, suku,
kabilah dan lainnya. Bahkan mereka acap kali berperang demi membela kepentingan
hawa nafsu atau karena fanatisme golongan. Merekalah yang berperan sebagai
katalisator perpecahan. Dan mereka pula yang memperbanyak jumlah
pengikut-pengikut kelompok sesat yang memang punya kepentingan sama, yaitu
sama-sama mencari keuntungan.
Kelompok
ini akan selalu ada kapan dan di mana saja. Setiap kali muncul pemikiran
nyeleneh, bid'ah atau pengikut hawa nafsu, pasti selalu saja ada orang yang
mengikutinya, baik dari kalangan pengikut hawa nafsu ataupun orang yang punya
kepentingan pribadi. Orang-orang model begini pasti selalu ada di sepanjang
zaman, semoga Allah tidak memperbanyak jumlah mereka.
3.
Perpecahan
Hanya Terjadi Dalam Masalah Prinsipil
Kebodohan
adalah salah satu faktor pemicu terjadinya perepecahan. Kebodohan merupakan
penyakit akut yang sangat sulit disembuhkan, yang pada waktu bersamaan
menciptakan atmosfir-atmosfir perpecahan. Kebodohan yang dimaksud adalah
kebodohan dalam bidang agama, baik kebodohan dalam aspek aqidah maupun aspek
syari'at. Jahil terhadap sunnah serta kaidah-kaidah dan metodologinya. Bukan
hanya buta tentang beberapa disiplin ilmu saja, sebab seperangkat ilmu yang
menjadi pelindung diri dan pedoman operasional agama sudah cukup bagi mereka
untuk disebut alim terhadap masalah agama sekalipun tidak menguasai seluruh
disiplin ilmu. Akan tetapi ada juga sebagian orang yang memiliki maklumat yang
lumayan banyak, namun jahil tentang kaidah-kaidah dasar agama. Ia tidak
mengerti kaidah-kaidah dasar aqidah, etika-etika dalam berbeda pendapat,
kaidah-kiadah dalam menghadapi perpecahan dan menyikapinya serta etika-etika
mu'amalah dengan orang lain. Ini sungguh musibah yang sangat besar yang sangat
banyak menimpa umat manusia sekarang ini.
Misalnya
seseorang yang memiliki sejumlah maklumat agama atau seorang yang banyak
menimba ilmu dari berbagai sumber, namun ternyata ia jahil tentang masalah
aqidah dan fiqih. Tidak mengerti etika bermu'amalah, prosedur memvonis orang
lain. Tidak memahami kaidah-kaidah dakwah dan amar ma'ruf nahi mungkar,
sehingga tanpa disadari ia telah berbuat kerusakan. Jelaslah, kejahilan
merupakan musibah dan penyebab utama terjadinya sebuah perpecahan, orang-orang
jahil merupakan aktor utama sekaligus pemicu terjadinya perpecahan.
4.
Perselisihan
Kadang Kala Timbul Karena Perbedaan Ijtihad Tidak Demikian Halnya Perpecahan.
Kerancuan
dalam metodologi memahami agama. Berapa banyak kita temukan orang yang memiliki
ilmu pengetahuan dan banyak menelaah buku-buku, namun menempuh metodologi
memahami agama yang rancu. Sebab memahami agama memiliki metode tersendiri yang
sudah diwarisi sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para
sahabat, tabi'in serta generasi Salafus Shalih dan orang-orang yang mengikuti
jejak mereka hingga hari ini.
Metodologi
tersebut ialah menuntut ilmu, mengamalkan, ihtida' (mengikuti petunjuk),
iqtida' (meneladani kaum salaf), suluk (adab dan akhlak) dan mu'amalah. Yaitu
menguasai kaidah-kaidah dasar syari'at lebih banyak daripada mengenal
hukum-hukum furu' dan sejumlah nash-nash tertentu saja. Dengan begitu kita
dapat memahami agama secara sempurna dari para pemimpin teladan, yaitu para
imam-imam dan para penuntut ilmu yang terpercaya dan mapan ilmunya. Yaitu
menuntut ilmu sesuai dengan tahapan-tahapannya, baik secara kuantitas maupun
jenis, sesuai dengan perkembangan dan kesiapan. Ilmu yang menghasilkan
pemahaman agama yang baik ialah ilmu syar'i yang ditimba dari Al-Qur'an dan
As-Sunnah serta atsar-atsar para imam yang shahih. Buku-buku tsaqafah
(pengetahuan umum), pemikiran, sastra, sejarah dan sejenisnya tidaklah dapat
menghasilkan pemahaman agama. Hanyalah sebagai ilmu sampingan dan alat bantu
bagi yang dapat memetik faidah darinya.
Fenomena
Kerancuan Dalam Metodologi Memahami Agama
Beberapa Fenomena Kerancuan
Dalam Metodologi Memahami Agama Yang Dimaksud Adalah.
1. Mengambil ilmu tidak dari ahlinya.
Maksudnya ialah sebagian orang mengambil ilmu dari setiap orang yang mengajak
mereka belajar. Dan dari setiap orang yang mengibarkan bendera dakwah serta
mengaku: "Aku adalah seorang juru dakwah". Akhirnya mereka jadikan
juru dakwah itu sebagai imam panutan dalam masalah agama. Mereka-pun menimba ilmu
darinya, padahal juru dakwah itu tidak paham Islam sama sekali. Oleh sebab itu,
kita temui sekarang ini slogan-slogan mentereng yang dikibarkan panji-panjinya
oleh sekumpulan umat manusia, terutama para pemuda.
Kita dapati pemimpin dan
ketuanya jahil tentang dasar-dasar agama. Lalu mereka berfatwa tanpa ilmu,
akhirnya mereka sesat lagi menyesatkan.
Sebabnya ialah juru-juru
dakwah tersebut melihat dirinya banyak diikuti orang yang mengambil ilmu agama
darinya tanpa hati-hati dan mencari kejelasan serta tanpa metodologi yang
benar. Mereka tidak melihat apakah pemimpinnya itu layak diambil ilmunya
ataukah tidak !?
Pada umumnya mereka lebih
terbawa perasaan daripada dituntun oleh ilmu. Ini jelas sebuah kesalahan fatal,
artinya setiap muncul juru dakwah yang kondang dan kharismatik mereka langsung
menjadikannya sebagai imam dalam agama. Meskipun juru dakwah tersebut tidak
punya ilmu pengetahuan tentang sunnah nabi dan fiqih sedikitpun. Sungguh benar
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak mencabut suatu ilmu secara sekaligus setelah
dianugrahkan kepadamu. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mencabutnya dari
manusia dengan mewafatkan para ulama berserta ilmunya. Maka yang tersisa
hanyalah orang-orang jahil. Apabila mereka dimintai fatwa maka mereka memberi
fatwa menurut pendapat mereka sendiri. Maka mereka sesat dan menyesatkan"
[Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Kitab Al-I'tisham bil Kitab was Sunnah 8/282.
Hadits ini diriwayatkan juga dengan lafal yang berbeda oleh Imam Muslim, Ahmad,
At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Daud]
Dakwah kepada agama Allah
dan amar ma'ruf nahi mungkar hanya pantas dicetuskan oleh para ulama yang mulia
lagi paham tentang masalah agama dan menimba ilmunya dari sumber yang asli
dengan berlandaskan metode yang benar. Jika demikian, tidak semua orang yang
akalnya dipenuhi pengetahuan, wawasan dan pemikiran-pemikiran boleh dijadikan
imam dalam agama. Sebab banyak sekali dijumpai orang fasik bahkan orang kafir
yang mengetahui banyak persoalan agama Islam, dan banyak pula dijumpai dari
kalangan orientalis yang menghafal sejumlah buku-buku induk dalam ilmu fiqih.
Bahkan mereka hafal Al-Qur'an, Shahih Bukhari, kitab-kitab Sunan dan
lain-lainnya. Orang-orang seperti itu hanyalah hafal ilmu namun tidak memahami
agama sama sekali. Begitu pula banyak orang yang mengaku dirinya muslim, dan
memiliki sejumlah maklumat, namun tidak memahami metodologi memahami agama,
tidak memahami kaidah-kaidah amal, mu'amalah dam iltizam (komitmen) terhadap
As-Sunnah. Tidak mengambil dienul Islam dengan metodologi yang benar. Tidak
mengambilnya dari ulama rabbani, sehingga mereka berfatwa tanpa ilmu,
mengarahkan dan mengumpulkan orang tanpa dasar ilmu dan aqidah yang benar.
2. Salah satu fenomena kerancuan dalam
metodologi memahami agama yang merupakan sebab perpecahan umat ialah memisahkan
diri dari para ulama.
Yaitu sebagian penuntut ilmu, juru dakwah dan pemuda memisahkan diri dari
ulama. Mereka merasa cukup menimba ilmu agama melalui buku, kaset, majalah dan
media-media lainnya. Mereka enggan menuntut ilmu dari para ulama. Hal ini jelas
merupakan gejala yang berbahaya bahkan merupakan benih perpecahan umat. Jika
kita kembali melihat sejarah awal perpecahan umat Islam, seperti menyempalnya
kelompok Khawarij dan Rafidhah, niscaya kita dapati bahwa diantara faktor utama
terjadinya bencana perpecahan di kalangan orang-orang yang mengaku Islam
-selain orang-orang munafik dan zindiq- adalah memisahkan diri dari sahabat.
Melecehkan sahabat dan menolak mengambil ilmu dari sahabat. Orang-orang itu
lebih memilih menimba ilmu secara otodidak atau dari rekannya. Mereka berkata :
"Kami sudah menguasai Al-Qur'an, kami sudah memahami As-Sunnah, kami tidak
butuh bimbingan orang lain, maksud mereka, tidak butuh bimbingan para sahabat
dan ulama dari kalangan tabi'in. Dari situlah mereka menyempal dan keluar dari
metodologi memahami agama yang benar. Menyimpang dari jalan orang-orang yang
beriman (para sahabat), jalan (metode) yang diambil dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Dan metode yang diambil para tabi'in dari para sahabat,
kemudian diambil oleh generasi salaf dari para imam-imam terpercaya generasi
demi generasi. Dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Ilmu ini
akan diambil oleh para imam yang adil dari setiap generasi" [Hadits
Riwayat Al-Khatib Al-Baghdadi dalam buku Syarah Ashhabul Hadits hal. 28-29,
Ibnu Adi dalam buku Al-Kamil I/152-153 dan III/902 dan dinyatakan hasan oleh
beliau. Dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam buku Bughyatul Multamis hal.
34-35]
Para imam yang adil adalah para
penghafal hadits yang tsiqah (kuat hafalannya), yaitu yang mengambil ajaran
agama ini dari para ulama lalu mereka menyampaikannya kepada orang lain.
Memisahkan diri dari ulama
merupakan bahaya yang sangat besar. Sebab ilmu hanya akan membuahkan berkah
bila diambil secara benar dari alim ulama. Dan eksistensi ulama tidak akan
pernah terputus sampai akhir zaman.
Propaganda segelintir orang
bahwa ulama juga punya kekurangan dan kekeliruan adalah propaganda yang
menyesatkan. Memang benar, ulama juga manusia biasa yang tidak terlepas dari
kekurangan dan kekeliruan, namun jangan lupa, secara umum mereka merupakan
teladan dan panutan. Mereka adalah hujjah, melalui merekalah Allah Subhanahu wa
Ta'ala menyalurkan agama ini. Merekalah ahli dzikir dan rasikhun (dalam
ilmunya). Merekalah para imam yang mendapat petunjuk dan siapa saja yang
menyimpang dari jalan mereka pasti binasa. Merekalah jama'ah, siapa saja yang
keluar darinya pasti sesat. Menimba ilmu dari selain ahlinya (ulama) merupakan
tindakan yang sangat berbahaya, baik terhadap dirinya maupun terhadap orang
lain.
3. Di antara gejala salah kaprah dalam
memahami agama adalah pelecehan kepada ulama yang dilakukan oleh
sebagian orang yang sok tahu dan sejumlah oknum juru dakwah.
Sangat disayangkan, gejala tidak sehat ini kita lihat mulai merebak. Tentu saja
ini sangat mengkhawatirkan. Kita wajib saling menasihati guna mencegahnya.
Sebab setiap perkara yang tidak segera ditanggulangi para penuntut ilmu dan
alim ulama bisa menjadi bahaya besar.
4. Sebagian pemuda yang berguru kepada
sesama mereka, atau kepada pelajar-pelajar yang tidak lebih pandai daripada
mereka.
Yaitu belajar secara penuh serta meninggalkan ulama-ulama besar dan memutuskan
hubungan dengan mereka. Bukan maksudnya tidak boleh belajar dari para penuntut
ilmu, bahkan siapa saja yang menguasai salah satu disiplin ilmu
syari'at, di samping itu ia juga seorang yang shalih, tentu boleh saja
menimba ilmu darinya. Namun juga bukan berarti meninggalkan orang yang lebih
alim daripadanya. Atau merasa cukup dengan penuntut ilmu itu serta memutuskan
hubungan dengan para ulama besar. Sebab bisa jadi hal itu menjadi salah satu
faktor munculnya perpecahan. Yaitu bilamana para pemuda tersebut sudah merasa
cukup mengambil ilmu, teladan, panutan, etika dan petunjuk dari sebagian
penuntut ilmu serta meninggalkan para ulama yang lebih alim, lebih terhormat
dan lebih senior.
Sudah barang tentu hal ini
sangat berbahaya. Dan lebih bahaya lagi bila sebagian pemuda tersebut dianggap
syaikh dalam hal ilmu oleh sebagian yang lain.
Namun hal itu jangan
disalah tafsirkan sebagai larangan menyelenggarakan majelis ilmu (selain majles
ulama), bergaul dan bekerja sama dalam dakwah dan amar ma'ruf nahi mungkar.
Bahkan majelis-majelis dan kerja sama dalam hal itu sangat dianjurkan. Akan
tetapi yang dimaksud di sini adalah menimba ilmu dengan metode yang keliru,
yaitu menolak mengambil ilmu dari para ulama. Sikap seperti itu merupakan ciri
ahli bid'ah dan ahwa', sikap yang sangat berbahaya dan merupakan faktor utama
meletusnya perpecahan. Sebab metode seperti itu akan membatasi pengambilan ilmu
dari orang-orang tertentu saja. Hal itu bisa menggiring kepada hizbiyyah
(bergolong-golongan) dan ashabiyah (fanatik golongan). Apalagi karakter ulama
tidak tampak pada diri pemuda-pemuda itu. Dari sinilah bibit perepecahan akan
tumbuh.
5. Perpecahan Mesti Diiringi Dengan
Ancaman, Berbeda Halnya Perselisihan
Di antara sebab-sebab
perpecahan adalah asumsi yang berkembang bahwa mengikuti para imam-imam yang
berada di atas hidayah dan ilmu sebagai sikap taqlid (membebek) yang dilarang.
Kerancuan seperti ini sering kita dengar dari sebagian orang yang sok tahu.
Mereka berkata :
"Mengikuti
syaikh-syaikh adalah taqlid". Sementara taqlid tidak dibolehkan dalam
agama, mereka manusia dan kita juga manusia, kita berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad, kita memiliki sarana berupa buku-buku, zaman sekarang sarana ilmu
tersedia lengkap, mengapa kita harus mengambil ilmu dari ulama ? Bahkan
mengambil ilmu dari ulama termasuk taqlid, sementara taqlid itu sendiri adalah
batil!
Kita jawab : 'Benar, taqlid
memang batil, namun apa pengertian taqlid itu? Ada beberapa perbedaan mencolok antara taqlid
dengan mengikuti petunjuk para imam. Secara syar'i, mengikuti para imam
hukumnya wajib. Sementara mayoritas kaum muslimin, bahkan banyak dari kalangan
penuntut ilmu, tidak mampu berijtihad dengan benar dan tidak mampu mengambil
dasar-dasar ilmu dengan cara yang benar. Lalu dari mana mereka mengambil ilmu?
Dan bagaimana mereka mempelajari metodologi memahami agama dengan benar,
kaidah-kaidah sunnah nabi dan pedoman-pedoman Salafus Shalih dan para imam ?
Tidak ada jalan lain
kecuali mengikuti alim ulama. Jelaslah hal itu bukan taqlid. Bila tidak
demikian, maka setiap orang akan menjadi imam bagi dirinya sendiri dan setiap
orang akan memecah menjadi kelompok tersendiri. Konsekwensinya,
kelompok-kelompok tersebut akan berpecah sebanyak jumlah manusia. Hal itu tentu
saja batil. Jadi jelaslah bahwa mengikuti para imam yang berada di atas
petunjuk dan ilmu bukanlah termasuk taqlid. Hanya mengikuti secara membabi buta
sajalah yang layak dikatakan taqlid!
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Artinya : Maka
tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui"
[Al-Anbiya' : 7]
Salah satu gejala yang
berbahaya adalah belajar hanya dengan mengandalkan sarana-sarana ilmu (seperti
buku dan sejenisnya). Misalnya seorang penuntut ilmu merasa cukup mengambil
ilmu melalui buku-buku lalu menyingkir dari manusia, menjauhkan diri dari
ulama, mengabaikan orang-orang shalih, orang-orang yang berjasa terhadap Islam
yang menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar, serta memisahkan diri dari ulama, ia
berkata : 'Saya cukup belajar dari buku-buku, kaset-kaset, radio dan
lain-lain'. Kemudian ia bekata lagi : 'Saya mampu belajar melalui sarana-sarana
ini!'.
Jawaban kami : 'Tentu saja,
sarana-sarana ini merupakan nikmat, tetapi juga merupakan senjata bermata dua.
Merasa cukup belajar ilmu-ilmu syar'i melalui sarana-sarana itu merupakan kekeliruan
dan merupakan salah satu sebab timbulnya perpecahan umat. Karena hal itu akan
mendorongnya untuk beruzlah (menyendiri) yang dilarang. Atau akan memunculkan
sosok ahli ilmu yang tidak baik, karena mereka mengambil ilmu tidak sebagaimana
mestinya, tidak berdasarkan kaidah dan tanpa petunjuk dan bimbingan alim ulama.
Mereka mengambil ilmu menurut cara mereka sendiri, dengan hawa nafsu, perasaan
dan perhitungan pribadi mereka sendiri. Apabila terjadi pertikaian, mereka
menyimpang dan menolak pendapat ulama. Padahal meskipun seseorang mempunyai
kepandaian dan kemampuan serta memiliki keahlian khusus seperti apapun, ia
tidak akan mungkin dengan sendirinya akan sampai kepada kebenaran selama ia
tidak mengenal pedoman-pedoman salaf dan ahli ilmu pada zamannya.
Namun, para pemuda bersama
para ulama harus bahu-membahu menanggulangi persoalan ilmiah atau problematika
umat. Jika para pemuda itu tidak melakukan hal itu, mereka akan binasa dan
membinasakan orang lain.
Bahkan sarana-sarana
tersebut memberikan gambaran sosok orang-orang yang disebut para intelektual
kepada kita. Mereka mengetahui sejumlah maklumat yang membuat orang-orang
takjub. Namun mereka tidak mengerti kaidah-kaidah dasar agama, tidak mengerti
pedoman Salafus Shalih, mereka dapati orang-orang mengikuti mereka tanpa ilmu.
Fenomena seperti ini banyak kita dapati sekarang ini dalam beragam bentuk dan
modelnya. Bahkan ada juga di antara orang-orang model begitu yang menjadi juru
dakwah dan pembina para pemuda hanya karena memiliki maklumat dan pengetahuan
umum yang membuat orang-orang awam tercengang.
Kadangkala mereka juga
mengetahui sejumlah masalah-masalah syari'at, namun tidak menguasai
kaidah-kaidahnya, tidak mengerti tata cara memahaminya, tidak mengerti cara
penerapan dan operasionalnya serta tidak mengerti metode ahli ilmu dalam
mengupas persoalan-persoalan ilmiah berikut penerapannya di lapangan.
6. Kurang Memahami Kaidah-Kaidah
Berselisih Pendapat
Di antara sebab-sebab
perpecahan adalah kurang memahami kaidah-kaidah berselisih pendapat. Yang saya
maksud di sini adalah mengenal hukum-hukum berbeda pendapat antara dua orang
muslim dan efek yang timbul di balik itu. Mana saja yang boleh diperselisihkan
dan mana yang tidak. Jika ada seseorang menyelisihi, bilakah penyelisihannya
itu dapat ditolerir ? Bilakah kita boleh memvonisnya kafir atau fasik ? Apakah
vonis seperti itu boleh dijatuhkan oleh siapa saja ?
Banyak sekali orang yang
tidak mengetahui perincian masalah tersebut. Terkadang dari sinilah muncul
perpecahan yang seharusnya tidak terjadi ! Demikian pula dangkalnya pemahaman
tentang kaidah-kaidah ijma' dan jama'ah. Memahami kaidah-kaidah tersebut sangat
penting sekali yang dewasa ini banyak diabaikan oleh mayoritas penuntut ilmu
syar'i. Di samping mereka juga tidak memahami tujuan dan makna persatuan umat,
kaidah-kaidah jama'ah, bahkan banyak di antara mereka yang tidak mengerti
titik-titik rawan perpecahan dan sebab terjadinya, titik rawan fitnah dan sebab
pecahnya fitnah. Mereka tidak memahami mana saja hukum-hukum dan kaidah-kaidah
yang tetap dan yang dapat berubah-ubah.
Ciri mereka adalah jahil
terhadap kaidah-kaidah umum syari'at dan hikmah-hikmah umum syari'at, seperti
kaidah-kaidah yang berkaitan 'mengambil maslahat dan menolak mafsadah',
kaidah 'kesulitan mendatangkan kemudahan', kaidah penetapan bilakah
seseorang mendapat dispensasi, bilakah kaidah 'darurat' dapat diterapkan, dan
bagaimana caranya menerapkan seperangkat kaidah tentang 'darurat', hukum-hukum
pada masa fitnah, perdamaian. Mereka juga tidak mengetahui kaidah dan etika
bermu'amalah terhadap orang yang beselisih pendapat dengannya, etika terhadap
ulama dan penguasa. Oleh karena itu kita dapati banyak di antara mereka yang
tidak dapat membedakan antara kondisi gawat dan fitnah dengan kondisi aman dan
damai, akibatnya keliru dalam berkomentar dan menetapkan hukum. Ini jelas
merupakan kekeliruan besar dan salah satu sebab perpecahan.
Saya beri contoh tentang
pertikaian yang terjadi antara saudara-saudara kita di Afghanistan. yaitu pertikaian yang
terjadi di wilayah Kunar. Orang yang punya bashirah akan mengetahui bahwa
pertikaian yang terjadi bukan antara haq dan batil secara mutlak. Atau bukanlah
pertikaian dalam masalah aqidah secara mutlak. Tidak ada dalih qath'i yang
menunjukkan bahwa kebenaran ada pada salah satu dari dua pihak yang
bersengketa. Hanya saja menurut sebagian orang, kebenaran lebih condong pada
salah satu dari dua pihak tersebut. Sementara menurut orang lain justru
sebaliknya. Maka cara yang paling tepat adalah mencari kejelasan lalu berusaha
menciptakan perdamaian dan memadamkan api pertikaian dan mengembalikan
permasalahan kepada ahli ilmu[[1]]
Akan tetapi yang berkomentar tentang fitnah itu adalah orang-orang yang tidak mengerti hukum seputar fitnah, dan kapan waktunya harus angkat bicara dan kapan waktunya harus diam. Kapan kita boleh mengomentari seseorang dan menjatuhkan vonis atasnya dan kapan hal itu tidak dibolehkan. Sementara ia tidak punya pengetahuan tentang kemaslahatan umat Islam yang besar. Kemaslahatan yang berlaku bagi terciptanya persatuan umat Islam. Bagaimana menyatukan persepsi dan mengadakan perdamaian. Serat keharusan menahan diri berbicara apabila dengannya api fitnah akan berkobar. Dan menjauh dari pertikaian yang tengah terjadi antara dua kelompok muslim di tengah-tengah situasi fitnah, mencegah kerusakan dan tindakan-tindakan lainnya.
Sungguh banyak sekali orang yang tidak memiliki bashirah dan ilmu pengetahuan mencampuri persoalan ini. Mereka tidak mengambil petunjuk dari ucapan ahli ilmu dan tidak meminta pengarahan dari para syaikh yang ada di tengah-tengah mereka. Mereka justru berambisi agar para ulama menerima pendapat-pendapat mereka. Akan tetapi mereka sendiri tidak mau mendengar arahan para ulama
Akan tetapi yang berkomentar tentang fitnah itu adalah orang-orang yang tidak mengerti hukum seputar fitnah, dan kapan waktunya harus angkat bicara dan kapan waktunya harus diam. Kapan kita boleh mengomentari seseorang dan menjatuhkan vonis atasnya dan kapan hal itu tidak dibolehkan. Sementara ia tidak punya pengetahuan tentang kemaslahatan umat Islam yang besar. Kemaslahatan yang berlaku bagi terciptanya persatuan umat Islam. Bagaimana menyatukan persepsi dan mengadakan perdamaian. Serat keharusan menahan diri berbicara apabila dengannya api fitnah akan berkobar. Dan menjauh dari pertikaian yang tengah terjadi antara dua kelompok muslim di tengah-tengah situasi fitnah, mencegah kerusakan dan tindakan-tindakan lainnya.
Sungguh banyak sekali orang yang tidak memiliki bashirah dan ilmu pengetahuan mencampuri persoalan ini. Mereka tidak mengambil petunjuk dari ucapan ahli ilmu dan tidak meminta pengarahan dari para syaikh yang ada di tengah-tengah mereka. Mereka justru berambisi agar para ulama menerima pendapat-pendapat mereka. Akan tetapi mereka sendiri tidak mau mendengar arahan para ulama
7. Sikap Ekstrim Dalam Agama
Ekstrim dan
berlebih-lebihan dalam melaksanakan agama adalah faktor terbesar mencuatnya
perpecahan. Yang dimaksud berlebih-lebihan di sini adalah mempersulit diri
sendiri dan orang lain dalam melaksanakan hukum-hukum syari'at, atau dalam
bersikap terhadap orang lain atau bermua'amalah tanpa mengindahkan etika-etika
syariat dan kaidah-kaidah agama. Karena sesunguhnya Islam tegak di atas
pelaksanaan hukum-hukum Islam secara menyeluruh dengan memperhatikan sisi
kemudahan dan menolak kesulitan, memberikan keluasaan, mengambil dispensasi
secara proposional, berbaik sangka kepada orang lain, ramah, pema'af dan halus
dalam memberi peringatan. inilah dia prinsip-prinsip dasar. Keluar dari
prinsip-prinsip tersebut tanpa maslahat yang pasti dan dibenarkan oleh ahli
ilmu termasuk sikap ekstrim yang dilarang.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya :
Sesungguhnya agama ini mudah, tidaklah seseorang berlebih-lebihan dalam
menjalankan agama kecuali ia akan keberatan sendiri. Tepatillah kebenaran atau
yang mendekatinya, berilah kabar gembira, dan pergunakanlah waktu pagi, waktu
sore dan malam hari untuk memudahkan perjalananmu" [Hadits Riwayat
Al-Bukhari kitab Al-Iman hadits no. 39, Lihat Fathul Bari I/93]
Apabila ada yang bertanya :
"Bagaimana kita membedakan antara sikap berlebih-lebihan yang tercela
dengan sikap berpegang pada ajaran agama yang disyariatkan ?"
Jawabnya : "Yang
menjadi standard adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
merupakan contoh terbaik. Di atas petunjuk itulah para sahabat, tabi'in, para
imam dalam agama berjalan. Dan itulah karakter ulama yang patut
diteladani."
Pada hari ini, hal tersebut
dapat kita ukur dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Ulama yang mengamalkan ilmunya
merupakan teladan dan panutan teragung. Siapa melangkahi petunjuk dan arahan mereka
dalam menetapkan hukum dan bersikap, dalam berbuat dan ber-etika, maka
terhitung sebagai sikap ekstrim jika ia tergolong orang yang berlebih-lebihan.
Dan terhitung apatis bila ia termasuk orang yang suka meremehkan.
b. Keluar dari batas-batas kemudahan dan
menjerumuskan kaum muslimin ke dalam kesulitan dan kesempitan untuk
melaksanakan Islam. Yang dimaksud kaum muslimin di sini adalah kaum muslimin
yang berada di atas sunnah, sebab orang fasik dan fajir tidak masuk dalam
konteks pembicaraan. Siapa saja yang menjerumuskan kaum mukminin ke dalam
kesulitan dalam melaksanakan agama atau menyempitkan mereka serta tidak memberi
kemudahan dalam hal-hal di mana mengambil dispensasi syari'at menjadi sebuah
keharusan, maka ia tergolong ekstrim.
c. Di antara tanda-tanda ekstrim adalah
tergesa-gesa dalam menjatuhkan vonis hukum. Yaitu hanya dengan mendengar suatu
masalah, peristiwa, berita atau suatu pendapat tertentu, dia langsung
menghukumi yang bersangkutan dengan masalah tersebut tanpa dasar. Atau menghukumi
sebelum perkara tersebut jelas baginya. Atau menghukumi seseorang di
belakangnya atau menghukumi hanya dengan sekedar indikasi-indikasi belaka.
Seperti mengatakan : "Bila si Fulan telah mengatakan begini berarti ia
kafir! Tanpa ada dialog terlebih dahulu dengan yang bersangkutan. dan seperti
ucapan : "Siapa tidak mengkafirkan si Fulan berarti ia kafir!"
Padahal belum jelas baginya kekafiran si Fulan tersebut. Sebagaimana ucapan
mereka juga: "Fulan melihat bid'ah tetapi ia tidak mencegahnya, atau bid'ah
tersebar di tengah-tengah kaumnya namun ia tidak merubahnya, dengan demikian
berarti si Fulan termasuk ahli bid'ah!". Begitulah, sikap tergesa-gesa
dalam menjatuhkan vonis hukum, menghukumi sepihak ucapan orang lain, royal
mengobral takfir (vonis kafir) tanpa arahan dan bimbingan ulama merupakan salah
satu fenomena sikap ekstrim dalam agama.
d. Di antara sikap ekstrim yang tidak
disukai adalah menghukumi batin orang, berburuk sangka, tidak memberikan
kesaksian baik terhadap saudara muslim yang tidak dikenalnya dan menancapkan
bara' (berlepas diri) terhadap masalah-masalah khilafiyah. Begitulah, sikap
ekstrim dalam melaksanakan agama merupakan faktor utama terjadinya perpecahan.
Faktor ini pulalah yang menyebabkan kaum Khawarij memisahkan diri dari kaum
muslimin. Lalu diikuti oleh golongan-golongan dan pengikut hawa nafsu lainnya.
8. Bid'ah Dalam Agama
Salah satu sebab perpecahan
adalah bid'ah. Baik bid'ah dalam masalah aqidah, ibadah, hukum dan lain-lain.
Yang intinya adalah meyakini sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Atau beribadah dengan cara yang tidak disyariatkan Allah dan
Rasul-Nya, baik berupa keyakinan, amalan maupun ucapan. Hal ini sudah sama-sama
dimaklumi tidak perlu diulas lebih rinci.
9. Fanatik Golongan
Fanatik Golongan dengan
segala macam jenisnya. Baik fanatik madzhab, hubungan darah, nasionalisme,
suku, partai, warna kulit, maupun yang lainnya. Yang paling parah adalah
fanatik yang terjadi di medan
dakwah. Hal ini dapat membuat samar orang banyak karena biasanya oknum
pelakunya mengatas namakan agama. Ciri inilah yang paling menonjol pada
gerakan-gerakan dakwah Islamiyah dewasa ini yang pemimpin gerakan dakwah ini
minim pengetahuan agama. Mereka lebih menyandarkan dakwahnya kepada pemikiran,
wawasan dan harakah (gerakan) daripada bersandar kepada ilmu syar'i dan para
ulama.
10. Filsafat
dan Ideologi-ideologi Impor
Di antara sebab perpecahan
paling dominan sejak dulu sampai sekarang adalah banyaknya umat Islam yang
terpengaruh ideologi serta filsafat yang datang dari negeri-negeri kafir.
Apapun jenis pemikiran, ideologi dan filsafat tersebut, tetap dinyatakan
berbahaya selama berkaitan dengan masalah agama, kebudayaan, hukum dan etika.
Dan menerima barang-barang
impor tersebut termasuk mengikuti tradisi orang-orang sebelum kita sebagaimana
yang disitir Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits beliau.
"Artinya : Kalian
bakal mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu" [Al-Hadits]
Oleh sebab itul pula setiap firqah (kelompok) dalam Islam membuat-buat sebagian besar prinsip-prinsipnya dari sekte-sekte terdahulu, Kelompok Rafidhah mengambil prinsip mereka dari Yahudi dan Majusi, kelompok Jahmiyah dan Mu'tazilah mengambil prinsip-prinsip ajaran mereka dari Ash-Sha'ibah dan filsafat Yunani. Kelompok Qadariyah mengambil prinsip ajaran mereka dari Nasrani. Begitulah seterusnya.
Oleh sebab itul pula setiap firqah (kelompok) dalam Islam membuat-buat sebagian besar prinsip-prinsipnya dari sekte-sekte terdahulu, Kelompok Rafidhah mengambil prinsip mereka dari Yahudi dan Majusi, kelompok Jahmiyah dan Mu'tazilah mengambil prinsip-prinsip ajaran mereka dari Ash-Sha'ibah dan filsafat Yunani. Kelompok Qadariyah mengambil prinsip ajaran mereka dari Nasrani. Begitulah seterusnya.
11. Propaganda
Tajdid [Pembaharuan Agama]
Di antara sebab perpecahan
yang terjadi setelah tiga kurun utama ialah propaganda-propaganda tajdid
(pembaharuan agama). Memang benar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda dalam sebuah hadits.
"Artinya :
Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini pada tiap-tiap seratus tahun
orang yang memperbaharui agama mereka" [[2]]
Pengertian yang benar
tentang tajdid adalah menghidupkan kembali ajaran agama, baik dalam ruang
lingkup aqidah, amalan ataupun menghidupkan kembali sunnah-sunnah nabi yang
terhapus, menghentikan perbuatan-perbuatan bid'ah dan perkara-perkara baru,
sebagaimana yang dilakukan oleh para mujaddid dari kalangan imam-imam agama
sepanjang sejarah kaum muslimin hingga hari ini. Merekalah yang memperbaharui
kembali amalan-amalan sunnah dan petunjuk-petujuk Salafus Shalih dalam bidang
ilmu dan amal. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Imam
Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan
lain-lain.
Tajdid bukanlah berarti
membuat-buat landasan, kaidah dan prinsip-prinsip baru. Sebagaimana yang dikira
sebagian pemikir dan penulis. Dari waktu ke waktu selalu saja muncul musibah
yang dipropagandakan beberapa orang dari kalangan kaum muslimin sebagai tajdid
dalam agama. Bahkan bisa jadi mujaddid seperti ini merobohkan kaidah-kaidah
ahli ilmu dan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan propaganda
tajdidnya itu!
Akhir-akhir ini, propaganda-propaganda
yang dapat bermuara kepada perpecahan tersebut banyak menyebar di arena dakwah.
Banyak sekali kita dapati orang-orang yang mengaku mujaddid. Andai kata yang
mereka maksud adalah pembaharuan dalam bidang-bidang kehidupan, sarana-sarana,
sistem-sistem dan faktor-faktor yang bisa meningkatkan taraf hidup, tentu saja
hal itu wajar dan sudah menjadi sunatullah atas para makhluk. Akan tetapi yang
mereka maksud adalah pembaharuan kaidah-kaidah dasar dan prinsip-prinsip agama!
Pembaharuan kaidah-kaidah ilmu syar'i, dan ketetapan-ketetapan yang sudah
disepakati oleh para imam dan alim ulama.
Pembaharuan metodologi
memahami fiqh dalam agama dan metodologi pengambilan hukum dari nash-nash dan
lain sebagainya yang termasuk prinsip dasar Sabilul Mukminin (Ahlus Sunnah wal
Jama'ah), yang mana tidak seorangpun boleh menyimpang darinya ! Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan siapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mu'min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisaa : 115]
Sudah barang tentu hal ini
sangat berbahaya, karena dapat menghapus kaidah-kaidah dasar Ahlus Sunnah wal
Jama'ah, kaidah yang menjamin keberadaan mereka berada di atas petunjuk Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat dan para tabi'in. Jadi jelaslah bahwa
tajdid model begitu identik dengan mengikuti selain Sabilul Mukminin yang telah
diperingatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
12. Menganggap
Remeh Usaha Memerangi Bid'ah
Meremehkan upaya melawan
dan memerangai bid'ah di tengah-tengah kaum muslimin. Maksudnya kadang kala
muncul sejumlah bid'ah yang tidak diketahui oleh sebagian manusia. Akibatnya
mereka meremehkan bid'ah-bid'ah tersebut yang akhirnya menyebabkan bid'ah
tersebut makin lama makin subur dan berkembang.
Pada mulanya barangkali
sebuah bid'ah muncul dalam bentuk yang samar. Muncul dalam bentuk adat dan
kondisi tertentu. Lalu adat-adat tersebut mencatut bentuk dan nama lain selain
nama bid'ah hingga dapat diterima. Setelah berlalu beberapa waktu berubah menjadi
bid'ah. Setelah itu para penganut bid'ah tersebut terseret kepada perpecahan
atau memisahkan diri dari Islam dan kaum muslimin. Pada umumnya, benih-benih
bid'ah dan perpecahan tumbuh melalui tahapan tersebut. Dan hal itu merupakan
tipu daya setan terhadap umat manusia.
13. Meninggalkan
Amar Ma'ruf Nahi Mungkar
Salah satu faktor yang
menggiring umat ke dalam jurang perpecahan adalah meninggalkan amar ma'ruf nahi
mungkar. Meninggalkan budaya memberi nasihat kepada para penguasa yang mengatur
urusan umat dan para imam yang berkompeten di tengah-tengah umat. Dan
mewabahnya sifat hipokrit dalam agama, atau berputus asa dan pesimis terhadap
usaha-usaha perbaikan umat, atau sengaja tidak menasihati para penguasa dan
menjadikan hal itu sebagai ibadah. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian
kelompok pengikut hawa nafsu dan kaum hizbiyah. Tidak adanya satu kelompok umat
yang menunaikan tugas memberi nasihat, mencegah kerusakan dan perpecahan
menyebabkan umat ini terpuruk dalam kehinaan, pertikaian dan perpecahan. Saling
menasihati merupakan perkara agung yang termasuk salah satu bentuk amar ma'ruf
nahi mungkar dan jihad. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
mewasiatkan hal itu dalam sebuah hadits beliau.
"Artinya : Dan agar
kalian saling memberi nasihat kepada orang-orang yang Allah beri kekuasaan
atasnya untuk mengatur urusan kamu" [[3]]
Nasihat akan menghilangkan
dengki dalam hati. Nasihat juga merupakan kekuatan untuk menegakkan kebaikan
dan dapat menjadi hujjah di hadapan Allah, atau dapat mencegah turunnya bala'
dan murka atas umat.
[1] Komentar
Dr. Nashir bin Abdul Karim menanggapi pertikaian di wilayah Kunar sangat
keliru. Kelihatannya Dr. Nashir menyandarkan komentarnya ini kepada informasi
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu hendaklah Dr. Nashir
mencari kejelasan -sebagaimana yang dikatakannya di atas tadi- dari sumber yang
terpercaya dan kalangan Salafiyin yang hadir dan menyaksikan dari dekat hakikat
pertikaian yang terjadi di sana, agar tidak menzhalimi dakwah tauhid dan ahli
tauhid di wilayah Kunar As-Salafiyah.
Perlu pembaca ketahui, bahwa pertikaian di
wilayah Kunar adalah pertikaian antara haq dan bathil, pertikaian antara
Muwahhidin (ahli tauhid) yang dipimpin oleh tokoh Salafi wilayah Kunar Syaikh
Jamilurrahman dengan kaum Quburiyyin. Jelas pertikaian di sana adalah pertikaian dalam masalah
prinsipil, yaitu masalah aqidah. Jadi dalam pertikaian tersebut kebenaran
tidaklah samar sebagaimana yang digambarkan oleh Dr. Nashir -semoga Allah
memaafkannya- Sungguh sangat menyayat hati kita bila pembantaian para Muwahhidn
yang dilakukan kaum Quburiyin itu dianggap bukan merupakan perseteruan antara
haq dan batil.
Dipicu kegerahan kaum Quburiyin melihat
perkembangan dakwah tauhid yang marak di wilayah Kunar. Kebencian kaum
Quburiyin terhadap kaum Muwahhidin yang mereka juluki Wahhabiyah ini memuncak
hingga sebagai klimaksnya adalah pengepungan wilayah Kunar dan pembantaian
penduduknya yang mayoritas adalah para Muwahhidin. Hingga beredarlah semboyan
di tengah-tengah mereka bahwa membunuh seorang wahabi lebih baik daripada
membunuh sepuluh orang komunis!. Hingga akhirnya Syaikh Jamilurrahman
Rahimahullah juga terbunuh tidak lama setelah itu. Setelah peristiwa berdarah
itu, kaum Quburiyin yang dipimpin oleh Hikmatyar menggelar tabligh akbar
menyatakan berlepas diri dari peristiwa tersebut, ironinya hal ini disambut
gegap gempita oleh Ikhwaniyin (pengikut Ikhwanul Muslimin)! Inna Lillahi wa
inna Ilaihi raji'un –pent.
[2] Hadits Riwayat Abu
Daud, Al-Hakim dalam Mustadrak, Al-Baihaqi dalam buku Ma'rifah dari Abu
Haurairah Radhiyallahu 'anhu dan hadits itu shahih. Silakan lihat Shahih Jami'
Shagir no. 1870.
[3] Hadits
Riwayat Malik dalam kitab Al-Muwaththa' no. 20, Ahmad dalam kitab Al-Musnad
II/327 dan 360 Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengingatkan :
'Memberi nasihat kepada penguasa yang mengatur urusan umat termasuk satu dari
tiga perkara yang tidak akan menjadi dengki hati seorang muslim dengannya"
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih beliau dan dinyatakan shahih oleh
Al-Albani dalam shahih At-Targhib wat Tarhib I/40
CARA
PENANGGULANGAN PERPECAHAN UMAT
Sudah
barang tentu, mewaspadai perpecahan dan mencegahnya sebelum terjadi lebih baik
daripada menyelesaikannya setelah terjadi. Seyogyanya kita mengetahui bahwa
mewaspadai perpecahan adalah dengan mewaspadai sebab-sebab yang telah kami
sebutkan terdahulu.
Namun
di sini terdapat beberapa faktor lain yang dapat menangkal terjadinya
perpecahan, baik faktor yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Di
antara faktor-faktor umum ialah berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Hal ini merupakan kaidah agung yang melahirkan wasiat-wasiat serta banyak
perkara lainnya. Dan perkara yang terakhir dari kaidah besar itulah yang
merupakan faktor khusus, yaitu :
Mengenal
petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengannya.
Siapa mengikuti petunjuk Nabi, dia pasti mendapat petunjuk insya Allah, dan
dapat melaksanakan agama berdasarkan pengetahuan. Dengan begitu ia akan
terhindar dari perpecahan atau pertikaian yang menjurus kepada perpecahan tanpa
disadari.
Di
antara faktor-faktor khusus dalam penanggulangan perpecahan adalah menerapkan
pedoman Salafus Shalih, para sahabat, tabi'in dan imam-imam Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Memperdalam ilmu agama dengan mempelajarinya dari para ulama dan
dengan metodologi yang shahih berdasarkan petunjuk ahli ilmu.
Bergaul
dengan para ulama dan imam-imam yang berjalan di atas petunjuk yang terpercaya
agama, ilmu dan amanahnya. Ahamdulillah mereka masih banyak dan tidak mungkin
umat Islam akan kehabisan ulama pewaris Nabi. Siapa berasumsi bahwa mereka akan
habis, berarti ia berasumsi bahwa agama Islam akan berakhir. Asumsi seperti ini
jelas tidak benar, sebab Allah telah berjanji akan mejaga agama Islam sampai
hari Kiamat. Karena umat Islam merupakan perwujudan para ulama Ahlus Sunnah wal
Jama'ah yang merupakan perwujudan para ahli ilmu dan ahli fiqih akan tetap ada
sampai hari Kiamat. Maka siapa menyangka bahwa ahli ilmu akan habis atau tidak
ada lagi keteladanan ulama yang menjadi tempat bertanya bagi umat, berarti ia
telah menyangka bahwa tidak akan ada lagi Thaifah Manshurah (Kelompok yang
mendapatkan petolongan dari Allah) dan tidak ada pula Firqatun Najiyah
(golongan yang selamat). Dan ini berarti kebenaran akan hapus dan sirna dari
tengah-tengah manusia. Ini jelas menyelisihi nash-nash yang qath'i dan
prinsip-prinsip dasar agama.
Menjauhi
sikap meremehkan alim ulama atau menyimpang dari mereka dengan segala model dan
bentuknya yang dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan. Keharusan
mengantisifasi fenomena-fenomena perpecahan terutama yang terjadi pada sebagian
pemuda, orang-orang yang suka tergesa-gesa, serta orang-orang yang belum
memahami cara hikmah dalam berdakwah, belum berpengalaman dan belum memahami
Islam.
Semangat
memelihara keutuhan jama'ah, persatuan dan perdamaian dalam arti umum dengan
prinsip-prinsipnya. Setiap muslim, khususnya para penuntut ilmu dan juru
dakwah, wajib berusaha memelihara keutuhan jama'ah, persatuan dan perdamaian
antar sesama juru dakwah serta penyeru kebaikan dan antara rakyat dan penguasa.
Dan menyatukan kalimat untuk menyeru kepada kebaikan dan takwa.
Siapa
ingin berpegang teguh kepada Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan selamat dari
perpecahan -insya Allah- dia harus menetapi ahli ilmu dan menetapi kaum yang
shalih dari kalangan orang-orang yang takwa, orang-orang yang baik dan
istiqamah. Mereka adalah orang-orang yang tidak mencelakakan teman duduknya dan
tidak menyesatkan rekan sejawatnya. Siapa menginginkan bagian tengah Surga,
hendaklah ia komitmen terhadap jama'ah, karena jama'ah adalah sunnah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya.
Untuk
menanggulangi terjadinya perpecahan kita harus menjauhi hizbiyah
(bergolong-golongan) sekalipun untuk tujuan dakwah. Dan juga menjauhi sikap
fanatik golongan, apapun bentuk dan sumbernya. Karena hal itu merupakan
benih-benih perpecahan.
Memberi
nasihat kepada penguasa, baik penguasa itu shalih maupun fajir. Begitu pula
menasihati khalayak umum. Karena nasihat kepada para penguasa dapat mewujudkan
maslahat yang besar bagi umat, dan akan menjadi hujjah di hadapan Allah, atau
menjadi penolak bala', penghapus rasa dengki dan dengannya pula akan tegak
hujjah. Menasihati penguasa termasuk salah satu wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang terbesar, beliau memerintahkan umatnya supaya bersabar dalam
menjalankannya dan berpegang kepada wasiat tersebut. Dan juga merupakan pedoman
Salafus Shalih yang membedakan mereka dengan ahlul ahwa' dan ahlul iftiraq.
Menahan diri dari menasihati penguasa berarti mengabaikan hak Islam dan kaum
muslimin. Dan berarti pula memperturutkan hawa nafsu yang akan melahirkan
keburukan dan bencana. Menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar dengan kaidah-kaidah
ilmu
PENUTUP
Sebelum
berpisah, saya ingin menyampaikan sebuah wasiat khususnya bagi para pemuda:
Hendaklah para pemuda
banyak berhubungan dengan para ulama. Demikian pula hendaklah mereka banyak
bergaul dengan para penuntut ilmu yang terpercaya. Hendaklah para pemuda menimba
ilmu agama dan mendalaminya dari mereka. Hormati dan hargailah mereka serta
ambillah pendapat mereka dalam perkara-perkara penting yang dihadapi umat.
Komitmenlah kepada ketetapan-ketetapan ulama dalam mewujudkan maslahat umat dan
dalam menghadapi problematika utama kaum muslimin. Mereka wajib berpegang
dengan arahan-arahan ahli ilmu, ahli fiqih, dan ulama berpengalaman demi
mewujudkan kemaslahatan umat, memelihara persatuan dan menjaga umat dari
ancaman perpecahan. Demikian pedoman Salafus Shalih, petunjuk yang dapat
dipakai untuk meneladani para imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan itulah jalan
kaum mukminin, petunjuk kaum shalihin dan shiratul mustaqim.
Saya
memohon kepada Allah Yang Maha Tinggi semoga Dia menyatukan kaum muslimin di
atas kebenaran, kebaikan dan hidayah. Mempersatukan barisan kaum muslimin dan
menolong mereka dalam mengalahkan musuh-musuh mereka. Saya juga memohon kepada
Allah Yang Maha Tinggi semoga kita terhindar dari kejinya fitnah baik yang
lahir maupun yang batin. Kita berlindung kepada-Nya dari perpecahan, hawa nafsu
dan bid'ah. Semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam, atas keluarga beliau dan seluruh sahabat-sahabatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
" tolong komentarnya untuk kedepan agar lebih bagus "