Sikap Muslim Terhadap
Para Sahabat Yang Mulia
﴿ موقف المسلم من الصحابة الكرام ﴾
]
Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu Dan Fatwa
Terjemah : Muhammad
Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2011 -
1432
﴿ موقف المسلم من الصحابة الكرام﴾
« باللغة الإندونيسية »
اللجنة الدائمة
للبحوث العلمية والإفتاء
ترجمة: محمد إقبال أحمد
غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2011 -
1432
بسم الله الرحمن الرحيم
Pandangan Muslim Terhadap Para Sahabat
Yang Mulia
Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu Dan Fatwa
Pertanyaan
1: Sesungguhnya banyak warga
Turki muslim yang selalu mengutuk
Mu'awiyah Radiyallahu’anha dan putranya Yazid, apakah mereka pantas mengutuk mereka
atau tidak?
Jawaban
1: Adapun Mu'awiyah Radiyallahu’anha,
ia adalah salah seorang sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi
wassalam dan salah satu penulis wahyu, dan semua sahabat beliau adalah
orang beriman yang terbaik. Diriwayatkan tentang larangan mencela mereka,
apalagi sampai mengutuk mereka. Disebutkan dalam Shahihain bahwa beliau
bersabda:
قال
رسول الله e : (خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ
الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ)
Rasulullah Salallahu’alaihi
wassalam bersabda: "Sebaik-baik
manusia adalah (yang hidup di) abadku (para sahabat), kemudian orang-orang yang
mengiringi mereka (tabi'in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka
(tabi'it tabi'iin)."[1]
Dan dalam hadits yang lain:
قال
رسول الله e : (لاَتَسُبُّوْا أَصْحَابِي, فَوَ
الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا
بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ)
Rasulullah Salallahu’alaihi
wassalam bersabda: "Janganlah
kamu mencela sahabatku, demi Allah yang diriku berada di Tangan-Nya, jika
seseorang darimu berinfak emas seperti bukit Uhud banyaknya niscaya tidak bisa
mencapai seperti satu mud mereka dan tidak pula setengahnya."[2]
Dan
diriwayatkan dengan isnad yang jayyid (baik) tentang Mu'awiyah t:
قال
رسول الله e : (اللهم عَلِّمْهُ الْكِتَابَ
وَالْحِسَابَ وَقِهِ سُوْءَ الْعَذَابِ)
Rasulullah Salallahu’alaihi
wassalam bersabda: "Ya Allah,
ajarkanlah kepadanya kitab (al-Qur`an) dan hisab (berhitung) serta peliharalah
ia dari siksa."[3]
Syaikhul Islam menyebutkan hal itu.[4]
Apabila
hal itu sudah diketahui, maka di antara dasar Ahlus Sunnah wal Jama'ah terhadap
para sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi
wassalam:
- Barangsiapa yang mengutuk salah seorang sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, baik itu Mu'awiyah Radiyallahu’anha atau yang lainnya: maka ia pantas mendapat hukuman berat dengan kesepakatan kaum muslimin. Namun mereka berbeda pendapat: apakah dihukum mati atau yang lebih ringan?
- Selamat lah hati dan lidah mereka terhadap para sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, sebagaimana digambarkan oleh AllahSubhanahuwata’alla dalam firman-Nya:
قال الله
تعالى:﴿
وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا
غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ ﴾
Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka
berdoa:"Ya Rabb kami, beri ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang". (QS. al-Hasyr:10)
- Mereka berkata: Sesungguhnya atsar (berita) yang diriwayatkan tentang keburukan mereka, ada yang ditambah, dikurangi dan dirubah dari cerita sebenarnya, sedangkan yang shahih, mereka dimaafkan dan di perbolehkan. Jika mereka berijtihad yang benar, maka bagi mereka dua pahala, Dan jika berijtihad yang keliru, bagi mereka satu pahala, dan yang salah dimaafkan bagi mereka. Kendati demikian, mereka (Ahlus Sunnah) tidak menyakini bahwa semua sahabat adalah ma'shum (terpelihara) dari dosa-dosa besar dan kecil. Bahkan bisa saja mereka berbuat dosa dan bagi mereka ada kebaikan dan keutamaan yang membuat mereka mendapat ampunan jika mereka melakukan kesalahan. Sehingga diampuni kesalahan mereka, yang hal tersebut tidak diberikan kepada generasi setelah mereka, karena mereka mempunyai kebaikan yang bisa menghapuskan kesalahan yang tidak ada pada generasi setelah mereka. Sudah jelas dengan sabda Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam bahwa mereka adalah sebaik-baik masa/abad, dan sesungguhnya satu mud dan setengahnya dari kebaikan/keutamaam mereka apabila bersedekah niscaya lebih utama dari bersedakah emas sebesar gunung Uhud dari generasi setelah mereka, seperti yang dijelaskan tersebut diatas. Kemudian bila ada dosa salah seorang dari mereka, dan ia telah bertaubat atau ia melakukan kebaikan yang menghapusnya atau diampuni baginya dengan keutamaan terdahulunya, atau dengan syafaat nabi Muhammad Salallahu’alaihi wassalam yang mereka paling berhak mendapat syafaatnya, atau mendapat cobaan di dunia yang bisa menebus dosanya. Apabila hal ini dalam dosa yang sudah pasti, maka bagaimana dengan perkara yang mereka berijtihad padanya? Jika mereka benar, bagi mereka dua pahala dan jika salah bagi mereka satu pahala, dan kesalahan diampuni baginya. Kemudian kadar yang diingkari dari perbuatan sebagian mereka sangat sedikit dibandingkan sisi kelebihan dan kebaikan mereka: berupa iman kepada Allah Subhanahuwata’alla dan rasul-Nya, jihad di jalan-Nya, hijrah, membela, ilmu yang bermanfaat, dan amal shalih.
- Mereka berkata: wajib bersikap objektif dalam perkara sahabat dan menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara mereka. Maka tidak dikatakan ma'shum bagi satu golongan dan berdosa bagi yang lain. Berbeda dengan ahli bid'ah dari kalangan Syi'ah dan Khawarij yang bersikap ghuluw dari dua sisi: satu golongan dipandang ma'shum dan satu golongan dipandang berdosa. Maka muncul bid'ah di antara mereka hingga mencela sahabat, bahkan memandang mereka fasik dan kafir kecuali sedikit sekali. Sebagaimana Khawarij mengkafirkan Ali Radiyallahu’anha, Utsman Radiyallahu’anha, dan membolehkan membunuh mereka. Mereka itulah yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wassalam:
قال
رسول الله e : (تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عَلَى حِيْنِ
فِرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ تَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ)
Rasulullah Salallahu’alaihi
wassalam bersabda: "Menembus
(satu golongan) yang menembus saat (terjadi) perpecahan di kalangan umat Islam,
yang paling utama dengan kebenaran dari dua golongan adalah yang memeranginya."[5]
Maka Ali Radiyallahu’anha memerangi mereka. Mereka itulah yang menembus/melewati,
yang keluar (membangkang) terhadap Ali Radiyallahu’anha dan mengkafirkan semua yang loyal kepadanya. Nabi Muhammad
Salallahu’alaihi wassalam bersabda kepada Hasan bin Ali Radiyallahu’anha:
قال
رسول الله e : (إِنَّ ابْنِي هذَا سَيِّدٌ,
وَسَيُصْلِحُ اللهُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ)
Rasulullah Salallahu’alaihi
wassalam bersabda: "Sesungguhnya
anakku ini adalah sayyid (pemimpin), dan Allah Subhanahuwata’alla akan mendamaikan dengannya di antara dua golongan besar
dari kaum muslimin."[6]
Maka ia mendamaikan di antara pendukung Ali Radiyallahu’anha dan Mu'awiyah Radiyallahu’anha, maka ia menunjukkan
bahwa ia melakukan yang dicintai oleh Allah Subhanahuwata’alla dan rasul-Nya,
dan sesungguhnya dua golongan tadi bukanlah seperti Khawarij yang Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam menyuruh
memerangi mereka. Karena inilah Ali Radiyallahu’anha merasa senang memerangi Khawarij dan bersedih hati
karena peperangan Shiffin dan Jamal dan ia menampakkan rasa sedih dan duka.
Sebagaimana wajib membebaskan kedua golongan (dari berbagai tuduhan) dan
memohon rahmat dari yang terbunuh dari kedua golongan, karena hal itu termasuk
perkara yang disepakati dan sesungguhnya kedua golongan tersebut adalah
beriman. al-Qur`an telah bersaksi baginya dan sesungguhnya peperangan
orang-orang beriman tidak mengeluarkan mereka dari iman, firman Allah Subhanahuwata’alla:
قال الله تعالى:﴿ bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( ﴾
Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya.. (QS.
al-Hujuraat: 9)
Dan hadits yang diriwayatkan dan menyatakan bahwa: 'Apabila dua khalifah berperang, maka salah satu
dari keduanya adalah terkutuk.' Adalah dusta yang dibuat-buat, tidak
diriwayatkan oleh seorang pun dari ulama hadits.[7]
Mu'awiyah
tidak pernah mengaku sebagai khalifah dan tidak dibai'at baginya ketika ia
memerangi Ali Radiyallahu’anha. Ia
tidak memerangi Ali Radiyallahu’anha
karena dia seorang khalifah dan tidak pula merasa bahwa ia berhak atas jabatan
khalifah, ia dan para pendukungnya tidak ingin memulai perang dengan Ali Radiyallahu’anha. Bahkan tatkala Ali Radiyallahu’anha melihat bahwa
membai'atnya dan taat kepadanya, karena jika ada dua khalifah bagi manusia dan
sesungguhnya salah satu dari mereka tidak taat kepadanya, ia berpendapat agar
memerangi mereka sampai mereka menunaikan kewajiban dan ada sikap taat dan
persatuan (jama'ah). Sedang mereka berkata: sesungguhnya hal itu tidak wajib
kepada mereka sehingga diambil hak Utsman Radiyallahu’anha
dari orang yang memberontak atasnya dan membunuhnya dari orang yang termasuk
dalam pasukan Ali Radiyallahu’anha.
Adapun
Yazid bin Mu'awiyah, maka manusia padanya ada dua sisi dan pertengahan, dan
pendapat yang paling adil baginya bahwa ia adalah salah seorang raja dari
raja-raja kaum muslimin, baginya ada sisi kebaikan dan keburukan, ia tidak
terlahir kecuali di masa khalifah Utsman Radiyallahu’anha,
dan ia tidak kafir, akan tetapi telah terjadi malapetaka di masa
pemerintahannya, yaitu terbunuhnya Husain bin Ali Radiyallahu’anha dan itu merupakan tindakan biadab terhadap ahli
Harah. Ia bukan sahabat dan bukan termasuk
wali Allah Subhanahuwata’alla yang shalih.
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata[8]:
Ini adalah pendapat umumnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Adapun yang berkaitan
dengan kutukan kepadanya, maka manusia
ada tiga golongan: golongan yang mengutuknya, golongan yang mencintainya, dan
golongan yang tidak mengutuknya dan tidak mencintainya. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata: Inilah (ketiga golongan) yang ditegaskan dalam riwayat dari
Imam Ahmad, dan yang bersikap netral dari pengikutnya dan selain mereka dari
kaum muslimin. Pendapat yang pertengahan ini berdasarkan keyakinan bahwa tidak
terbukti kefasiknya yang mengharuskan ia mendapat kutukan, atau berdasarkan
kaidah bahwa orang fasik tidak boleh dikutuk secara khusus, bisa jadi haram
atau makruh. Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Umar Radiyallahu’anha dalam cerita Abdullah
bin Hammar Radiyallahu’anha [9]
yang berulang kali minum arak dan Rasulullah e mencambuknya. Tatkala sebagian sahabat mengutuknya:
قال
رسول الله e : (لاَتَلْعَنْهُ فَإِنَّهُ يُحِبُّ
اللهَ وَرَسُوْلَهُ)
`Rasulullah Salallahu’alaihi
wassalam bersabda: "Janganlah
engkau mengutuknya, sesungguhnya ia mencintai Allah Subhanahuwata’alla dan rasul-Nya."[10]
Dan beliau juga bersabda:
قال
رسول الله e : (لَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ)
Rasulullah Salallahu’alaihi
wassalam bersabda: "Mengutuk
seorang mukmin sama seperti membunuhnya."[11]
Sebagaimana nash-nash ancaman secara umum dalam memakan
harta anak yatim, zina, dan mencuri, maka tidak boleh bersaksi terhadap
seseorang secara khusus bahwa ia adalah penghuni neraka, karena bisa jadi telah
terjadi sesuatu yang membuat kenyataan menjadi berbeda: bisa jadi karena
taubatnya, bisa jadi karena kebaikannya, bisa jadi karena mendapat musibah yang
menebus dosa, bisa jadi mendapat syafaat yang diterima, dan berbagai penebus
dosa lainnya. Dari sisi inilah yang mendasari larangan untuk mencela dan mengutuknya.
Adapun
dari sisi tidak mencintainya, karena ia tidak kelihatan melakukan amal shalih
yang mengharuskan mencintainya. Maka tetaplah ia sebagai seorang penguasa, dan
mencintai jenis seperti ini tidak disyari'atkan, juga karena kefasikan dan
kezaliman yang dilakukan olehnya, seperti peristiwa pembunuhan terhadap Husen
Radiyallahu’anha dan peristiwa Harah merupakan
bukti atas hal itu.
Wabillahit taufik, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Fatawa Lajnah Daimah 3/282-285.
Pertanyaan 2: Bagaimanakah bersikap terhadap seseorang yang mencela ketiga
sahabat?
Jawaban 2: Sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam adalah umat terbaik dan Allah Subhanahuwata’alla memuji mereka dalam kitabnya:
Jawaban 2: Sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam adalah umat terbaik dan Allah Subhanahuwata’alla memuji mereka dalam kitabnya:
قال الله تعالى:﴿ cqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûïÌÉf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ Å̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ Ìôfs? $ygtFøtrB ã»yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºs ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ ﴾
Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
(QS. at-Taubah::100)
Dan
firman-Nya:
قال الله تعالى:﴿ ôs)©9 _ÅÌu ª!$# Ç`tã úüÏZÏB÷sßJø9$# øÎ) tRqãèÎ$t7ã |MøtrB Íotyf¤±9$# zNÎ=yèsù $tB Îû öNÍkÍ5qè=è% tAtRr'sù spuZÅ3¡¡9$# öNÍkön=tã öNßgt6»rOr&ur $[s÷Gsù $Y6Ìs% ÇÊÑÈ ﴾
Sesungguhnya Allah telah ridha
terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah
pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang
dekat (waktunya). (QS. 48:18)
Juga ayat-ayat lainnya yang Allah Subhanahuwata’alla
memuji para sahabat dan berjanji memasukkan mereka ke dalam surga. Abu Bakar Radiyallahu’anha, Umar Radiyallahu’anha, Utsman Radiyallahu’anha, dan Ali Radiyallahu’anha termasuk generasi
pertama yang terdahulu. Termasuk orang yang melakukan bai'at di bawah pohon.
Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wassalam
telah membai'at Utsman Radiyallahu’anha,
maka bai'at itu merupakan persaksian baginya dan kepercayaan dari Nabi Muhammad
Salallahu’alaihi wassalam kepadanya,
dan ia lebih kuat dari pada bai'at Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wassalam kepada yang lain. Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wassalam telah memuji
mereka dalam hadits yang sangat banyak secara umum dan terperinci, terutama Abu
Bakar Radiyallahu’anha, Umar Radiyallahu’anha, Utsman Radiyallahu’anha, dan Ali Radiyallahu’anha. Dan Nabi Muhammad
Salallahu’alaihi wassalam memberi kabar gembira kepada mereka dengan berita masuk
surga bersama beberapa orang sahabat lainnya dan memperingatkan orang yang
mencela mereka.
قال
رسول الله e : (لاَتَسُبُّوا أَصْحَابِي, فَإِنَّ
أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ
وَلاَ نَصِيْفَهُ)
Rasulullah Muhammad
Salallahu’alaihi wassalam bersabda: 'Janganlah kamu mencela sahabatku,
sesungguhnya jika salah seorang darimu
berinfak emas sebesar bukit Uhud, niscaya tidak bisa menyamai satu mud salah
seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya."[12]
HR. Muslim dalam Shahihnya, dari jalur Abu Hurairah Radiyallahu’anha dan Abu Sa'id Radiyallahu’anha.
Maka
barangsiapa yang mencela sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi
wassalam -terutama sekali tiga orang yang ditanyakan, yaitu Abu Bakar Radiyallahu’anha, Umar Radiyallahu’anha, dan Ustman Radiyallahu’anha - sungguh ia telah
menyalahi al-Qur`an dan Sunnah, dan menentang keduanya dengan celaannya
terhadap mereka. Ia tidak berhak mendapatkan ampunan yang dijanjikan Allah Subhanahuwata’alla,
dan kepada generasi yang datang sesudah mereka meminta ampunlah untuk mereka,
dan berdoa kepada Allah Subhanahuwata’alla agar jangan menjadikan di
hatinya sifat dengki kepada orang-orang yang beriman. Dan karena ia mencela
mereka bertiga dan semisal mereka, wajib memberi nasehat kepadanya,
mengingatkan keutamaan mereka, dan memperkenalkan kepadanya derajat-derajat
mereka, serta jasa mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Jika ia bertaubat
maka ia termasuk saudara kita di dalam agama. Jika ia tetap mencela mereka
niscaya wajib memegang tangannya, serta menjaga diri
kita agar kita jangan sampe terpengaruh
oleh nya. Siapa yang tidak mampu mengingkari
dengan lisan dan tangannya, maka dengan hatinya. Ini adalah selemah-lemah iman,
seperti yang disebutkan dalam hadits yang shahih.[13]
Fatawa Lajnah Daimah 3/286-287.
[1] HR. Al-Bukhari 2651, 2652, 3650, 3651, 6428,
6658, 6695 dan Muslim 2533 dan 2534 dan selain keduanya.
[2] HR. Al-Bukhari 3673, Muslim 2540 dan 2541,
Ahmad 3/11, 54, 63 dan yang lainnya. Satu mud adalah takaran di masa lalu, di
masa sekarang diperkirakan sekitar 675 gram.
[3] HR. Ahmad dalam Musnad 4/127, dan dalam "Fadhailush
shahabah" 1748, 1749, dan yang terakhir adalah mursal, al-Bazzar dan
ath-Thabrani sebagaimana dalam 'Majma' Zawaid' (9/356) dan ia berkata: padanya
ada al-Harits bin Ziyad dan aku tidak menemukan yang mentsiqahkannya...' dan ia
menyandarkannya bagi Thabrani dalam lembaran yang sama secara mursal.
Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar 'Alamin Nubala' 3/120: baginya ada
syahid yang kuat dari hadits Abdurrahman bin Abi Umairah. Dan al-Bukhari
meriwayatkan dalam at-Tarikh Kabir (1405), dan Ibnu Hibban dalam
Shahihnya (7210).
[9] Yang benar namanya adalah Abdullah dan diberi
gelar hammar. Lihat al-Bukhari 2780 dan al-Ishabah 2/117 (1815.)
[10] HR. Al-Bukhari 6780, Abu Ya'la al-Mushuli
dalam Musnadnya (176-177), Abdur Razzaq dalam 'Mushannaf'nya (13552, 17082) dan
al-Bazzar dalam'Musnad'nya (169 dan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
" tolong komentarnya untuk kedepan agar lebih bagus "